Senin, 22 Agustus 2016

#FantasyFiction : The New World; Indonesia 2099

Cerita fiksi ini ditulis dalam rangka memenuhi #Tantangan12World2099 dari Super Writer 9.

Oleh: Igant Erisza Maudyna

Aku baru saja membuka mata ketika sinar matahari menerobos masuk melalui celah jendela kamarku. Aku berbaring cukup lama menatap dinding kamarku. Aku tidak mau keluar kamar. Disana pasti ada robot mengerikan yang menungguku bangun. Kemudian, dia pasti akan mendorongku ke ruang makan tidak peduli apakah aku mau atau tidak.
Aku menutup wajahku dengan bantal. Argh! Mengapa dunia ini jadi begitu menyeramkan?
Aku takut hidup di rumahku sendiri. Aku takut dengan semuanya. Robot itu, wajah-wajah keluargaku yang ada di ruang makan, acara televisi yang memuakkan. Aku benci semuanya!
“Yuaaaaaaa!” teriakan bunda membuatku melepas bantal yang kututupkan di wajahku. Aku menghela nafas berat. Pagi ini hari Minggu, robot itu pasti tidak tidur semalaman. Dan aku, sama sekali tidak peduli. Memangnya dia siapa? Dia hanya robot. Hanya robot.
“Iya buuuuuuuuun!” balasku berteriak. Pintu kamarku terbuka, dan wajah itu ada disana. Wajah hasil operasi plastik seperti gadis korea. Ah, mengapa seperti itu? Aku benci melihat wajah tidak natural itu. Aku benci hidung yang dipaksakan mancung, benci bibir yang dipaksakan menawan, atau kedua mata bulat dan bulu mata super lentik itu. Aku benci semuanya.
“Bangunlah! Kita sudah siap sarapan di bawah!” bunda berdiri di depan pintu kamar yang terbuka sebagian. Aku bangkit menatap wajah bunda yang sudah menungguku berkata-kata. Ah, lihat wajah itu? Itu tidak nampak baik. Wajah itu... mengerikan. Kemudian, ada wajah robot yang mengintipku dari balik pintu. Aku memutar bola mataku. Dia menatapku sambil tersenyum.
“Selamat pagi, Yua!” aku benci nada bicaranya. Aku benci lambaian tangannya yang bergerak simetris atau senyumnya yang tidak manis. Semua eskpresi wajah robot itu terlalu memuakkan di mataku. Kehidupan macam apa yang kujalani ini!
“Zeta bahkan menyapamu!” bunda tersenyum dan mengusap-usap kepala robot itu dengan senyuman. Aku memutar bola mataku lagi.
“Lima menit lagi, bun,” kataku sambil turun dari tempat tidur. “Aku cuci muka dulu,” ujarku singkat sambil melenggang ke kamar mandi yang ada di dalam kamar.
“Bunda tunggu di bawah ya!” bunda berteriak sekali lagi, kemudian terdengar pintu kamar ditutup. Aku menatap pantulan wajahku di depan cermin kamar mandi. Apa yang salah di dalam kehidupan ini? Aku mengusap mukaku dengan air keran.
 Aku bahkan tidak perlu menggerakkan tanganku untuk menggosok gigi. Disana, sikat gigi itu bergerak otomatis ketika kutekan tombol on. Aku hanya perlu mengarahkan sikat gigi itu ke dalam mulutku, dan dia akan bergerak-gerak otomatis membersihkan gigiku. Bahkan untuk segala hal yang sederhana, manusia di zaman ini tidak perlu bersusah payah menghabiskan tenaganya. Teknologi 2099 sudah tidak perlu ditanyakan lagi. Rumahku sendiri bukan seperti rumah pada umumnya.
Ayah memutuskan untuk membeli peralatan elektronik untuk memudahkan aktivitas keluarga. Tapi bagiku, itu semua seperti neraka. Aku benci semua yang serba ada bahkan ketika aku belum mengambilnya.
Seperti saat ini, aku benci ketika sikat gigi itu berputar-putar di dalam mulutku. Kemudian dalam gerakan cepat, ia berhenti. Ya, sikat gigi itu berhenti otomatis ketika gigiku sudah bersih. Aku tidak perlu memuntahkan odol, sikat gigi itu sudah otomatis menghisapnya. Aku hanya perlu mencuci mulutku sedikit setelah selesai menggosok gigi.
“Kenapa waktu di dunia ini berjalan begitu lama?” aku menggerutu seorang diri sambil mengusap wajahku dengan handuk kecil. Kupandang sekali lagi wajahku yang memantul di cermin. Wajahku masih sama. Wajahku tidak berubah menyeramkan seperti bunda dan adik perempuanku yang memutuskan untuk melakukan operasi plastik yang tak kalah dengan Korea. Dokter di Indonesia sudah kompeten dalam melakukan operasi plastik, dan itu adalah layanan jasa paling diminati saat ini.
Ketika Korea sudah bosan dengan rutinitas operasi plastik yang menghabiskan banyak dana, Indonesia baru memulainya. Layanan jasa yang tidak mahal itu membuat banyak wanita di Indonesia yang dengan sukarela melakukan operasi untuk wajahnya. Korea masih jadi idola, jadi mereka memutuskan untuk membentuk wajah mereka seperti idola-idola mereka. Entah untuk berapa tahun ke depan, Indonesia berada di puncak tertinggi kemajuan teknologinya, sejajar dengan negara-negara maju yang ada di dunia.
Aku termenung. Ada apa dengan duniaku sekarang? Apa yang menyebabkannya berubah sedemikian mengerikan?
“Aku berharap aku punya kemampuan teleportasi untuk hilang dari kehidupan ini,” doaku dalam hati. Aku sudah muak dengan segala kecanggihan negara ini. Aku... sudah muak melihat manusia-manusia di negara ini bertingkah seperti robot, dikendalikan oleh mesin-mesin elektronik.
Namun aku tidak punya kuasa untuk menolaknya. Bahkan jika aku menolak mesin-mesin itu menjalankan aktivitasnya untuk memudahkanku, ayah tetap memaksaku. Bahkan otak-otak manusia telah dikendalikan oleh mesin.
Sungguh, aku muak dengan dunia ini!
Zeta berdiri tak jauh dari pintu kamarku. Robot perempuan seusiaku itu tersenyum begitu aku keluar kamar dan menutup pintunya. Ia menundukkan kepalanya memberikan salam. Aku memandang robot itu. Lihatlah, bahkan aku masih punya teman di dunia nyata, tapi robot ini bertingkah seolah-olah dia diterima dalam kehidupanku. Dia berkata-kata, berperilaku, dan berpikir seperti layaknya temanku. Dia memuakkan, sungguh. Kadang aku berharap aku bisa melenyapkannya yang setiap hari berjaga di kamarku.
Memangnya aku ini apa perlu dijaga? Aku bisa mengurus hidupku sendiri!
“Selamat pagi, Yua!” robot itu tersenyum.
“Pagi,” balasku kemudian menuruni tangga untuk menuju ke ruang makan. Zeta meraih tanganku sebelum aku sempat menapak di anak tangga pertama.
“Aku akan mengantarmu,”
“Tidak! Tidak perlu, aku bisa berjalan sendiri,” tolakku sambil melepas tanganku dari genggaman tangannya. Lihat, bahkan robot seperti Zeta ada tiga di rumahku! Ketika aku tiba di lantai pertama, dua robot yang lain sudah sibuk menyiapkan sarapan pagi. Bunda, ayah, dan adik perempuanku hanya duduk di kursi dengan nyaman. Mereka sibuk dengan ponsel masing-masing. Fitur-fitur canggih terlalu sayang untuk dilewatkan barang sedetik. Lagi-lagi aku muak. Apa yang terjadi pada keluargaku?
Aku menarik kursi, kemudian menghempaskan tubuhku di atasnya. Bunda dan adik perempuanku mengalihkan pandangan dari layar ponsel. Bunda tersenyum menatapku.
“Oh, kamu sudah datang,” kemudian salah satu robot bernama Geatta meletakkan piring di depanku. Aku memandangnya. Robot berwajah paruh baya itu tersenyum memandangku.
“Terima kasih,” ucapku singkat. Robot itu mengangguk kemudian berlalu. Sungguh, aku masih bisa mengambil piringku sendiri.
“Hari ini Frans memasak omelette untuk kita. Cobalah!” kata bunda.
Aku mengambil seporsi omelette dari piring lainnya. Setelah memotongnya, kumasukkan omelette itu dalam mulutku.
“Bagaimana? Enak?” tanya bunda dengan mata berbinar-binar. “Omelette ini adalah omelette terenak yang pernah bunda makan,” mendengar itu, membuatku ingin memuntahkan omelette yang sudah masuk dalam tenggorokanku. Aku sempat melirik Frans yang tersenyum puas di dapur. Aku memutar bola mataku. Robot itu tahu kalau dirinya sedang dipuji. Bunda terlihat memasukkan beberapa potongan omelette di mulutnya, pun adik perempuanku yang terlihat menyukai masakan Frans, robot koki yang ada di rumahku.
“Bisakah kita masak sendiri lain kali, bun?” keluhku. Aku bosan merasakan masakan dari robot. Rasanya memang enak, tetapi aku tetap saja tidak begitu menyukainya. Terlepas dari apapun, tangan manusia lebih baik dalam meracik makanan.
“Mengapa? Masakan yang dibuat Frans juga enak, Yua,” bunda mengernyitkan dahi menjawab pertanyaanku.
“Tetap saja. Kita tidak pernah tahu bahan apa yang dimasukkan Frans ke dalam racikannya,” aku berprasangka buruk. Jangan-jangan dia memasukkan bahan radioaktif atau bahkan racun yang mematikan. Lagi-lagi, aku tidak mempercayai kecanggihan teknologi saat ini. Aku benci tepatnya. Perlu kujelaskan di setiap paragraf bahwa aku benci pada kecanggihan teknologi di abad ini?
Ya, aku benci sepenuh-penuhnya benci. Aku muak!
“Hahaha,” ayah tertawa. “Ada-ada saja kamu, Yua. Mana mungkin Frans meracuni kita. Dia sudah hidup lima tahun bersama kita,” kata ayah. Ia baru saja mengalihkan kedua matanya dari layar ponsel. Aku heran, apa yang mereka lihat disana. Aplikasi macam apa yang sudah menyita seluruh perhatian mereka. Aku muak sepenuh-penuhnya muak. Aku benci keluargaku dikendalikan oleh teknologi itu. Rasanya aku ingin membanting semua alat elektronik yang ada di rumah ini, dan mengembalikan suasana rumah seperti sediakala. Hangat penuh cinta. Sekarang? Ini bukan rumah. Dingin penuh kesenangan yang semu. Ini bukan rumah. Lebih seperti pabrik yang menjalankan robot-robot dengan perintah, kemudian tinggal duduk dan menikmati hasilnya.
“Kalian kenapa?” tanyaku marah.
“Kak,” adik perempuanku menyentuh tanganku, mencoba menghentikan amarahku.
“Apa yang salah, Yua?” tanya bunda.
“Kita hidup dengan sistem macam apa? Sampai kapan kalian akan menggantungkan semua hal pada robot-robot itu? Dan itu, robot itu!” aku menunjuk pada Zeta yang duduk tak jauh dari kursiku. “Mengapa aku harus melihatnya setiap hari di depan kamarku? Mengapa dia harus ada di depan kamarku untuk menjagaku? Memangnya aku ini apa, bun? Bayi? Apakah aku terlihat butuh penjagaan dari robot yang bahkan bukan temanku?”
Kata-kataku membungkam semua mulut yang ada di meja makan. Tak terkecuali Zeta, dia terlihat sedih memandangku.
“Aku hanya ingin kehidupan yang normal. Aku ingin kehidupan kita kembali lagi seperti sediakala? Dan apa itu, the new world Indonesia 2099? Aku benci itu. Aku benci kenapa pemerintah mengajarkan kita bergantung pada benda-benda semacam ini! Aku benci mengapa Indonesia harus menerapkan sistem memuakkan ini?”
“Dan apa itu, setiap hari kalian hanya sibuk dengan gadget masing-masing. Bunda dan adik, yang seharian menghabiskan waktu belanja di mall dan bersenang-senang dengan wajah baru kalian. Ayolah, kita bukan robot juga. Kita perlu waktu untuk bersama-sama. Kita butuh berkomunikasi, saling menatap wajah, kemudian berbagi cerita seperti apa yang kita lakukan dulu,”
Ayah memandangku, pun bunda dan adik perempuanku.
“Mau sampai kapan kita hidup seperti ini, yah, bun, dik?” tanyaku pada mereka. Mulut-mulut itu bungkam tak menjawab. Kuletakkan garpu dan sendokku, kemudian aku bangkit dari kursi.
“Aku pergi dulu,” ujarku kemudian melenggang berlalu. Ketiga orang itu tidak menahanku. Mereka hanya bungkam sebungkam-bungkamnya.
Belum ada lima langkah aku meninggalkan rumah, kulihat sebuah lingkaran berwarna hijau menganga di depanku. Lingkaran itu terlihat seperti sebuah lubang. Aku melangkah ke depan, memandang lubang itu lamat-lamat. Ada cahaya yang tidak terang muncul dari dalam lubang itu. Aku mengernyitkan dahiku. Lubang apa ini? Apakah ini semacam teleportasi?
Aku menyentuh lingkaran hijau itu. Namun seperti ada magnet yang menarik tanganku. Aku terseret masuk ke dalam lubang itu dalam kecepatan enol koma sepersekian detik
“Argh! Ayaaaaaaaah!” teriakku dari dalam lubang. Dua detik kemudian, lubang itu menghilang.
Aku terlempar ke atas ranjang. Nafasku tersengal, nadiku berdenyut cepat, dan jantungku berdetak tak karuan. Aku memandang ruangan yang terlihat familiar. Cat dinding berwarna biru laut, penataan kamar yang sangat kuhafal, meja belajar di depan jendela dan lemari yang menghadap ranjang. Semuanya terlihat sama dengan kamarku.
“Aku... di rumah?” dahiku mengernyit lagi. Lalu, untuk apa teleportasi itu membawaku kesini? Toh, tanpa membawaku kesini, aku akan kemari lagi pada akhirnya.
“Yuaaaaaaaaaaaaaa!” terdengar bunda berteriak. Aku menolehkan kepala ke arah pintu kamar. Kejadian ini...
“Bangunlah! Kita sudah siap sarapan di bawah!” bunda berdiri di depan pintu kamar yang terbuka sebagian. Bunda tersenyum menatapku. Aku hanya bisa menatap bunda dengan tatapan penuh tanya. Ada apa ini?
Kemudian aku yakin, Zeta akan muncul dari balik pintu dan menyapaku. Kutunggu beberapa saat, tetapi Zeta tidak lagi muncul. Bukankah aku sudah mengalami kejadian ini? Seharusnya Zeta ada. Tetapi sekali lagi, robot itu tidak muncul.
“Bun, mana Zeta?” tanyaku.
“Zeta? Zeta siapa?” tanya bunda.
Aku kaget mendengar jawaban bunda. Seharusnya bunda lebih tahu siapa Zeta, robot yang selalu ada 24 jam nonstop di depan pintu kamarku.
“Z... zeta, bunda tidak mengenalnya?” tanyaku terbata. Bunda menggeleng. Tunggu! Aku tidak melihat hidung mancung, mata bulat, bibir menawan yang seharusnya aku lihat hari ini. Wajah bunda... berubah?
“Kamu ini kenapa, Yua? Ayo turun dan makan. Ayah sudah menunggu daritadi,” bunda tersenyum kemudian menutup pintu kamar.
Aku memutar bola mataku, kemudian menghela nafas berat. Sebenarnya aku hidup di abad keberapa? Bukankah seharusnya aku ada di rumah di tahun 2099? Mataku tertumbuk pada kalender yang berada tidak jauh dari ranjangku. Agustus, 2016.
Aku mengernyitkan dahi. Ini tahun 2016?

Kediri, 23 Agustus 2016
6.42 AM

Minggu, 21 Agustus 2016

Seporsi Kopi untuk Veassa

Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen #MyCupOfStory yang diselenggarakan oleh GIORDANO dan nulisbuku.com

Oleh: Igant Erisza Maudyna

Langit kota Malang disapa hujan bulan November pada senja ini. Aku berlarian kecil bersama seorang gadis yang tertawa-tawa saat kecipak langkah kami meninggalkan bekas becek yang mengenai sepatunya.
“Yuk!” aku menggandeng tangan Vea—gadisku—dan mengajaknya berteduh di salah satu kedai kopi favoritku.
Aroma kopi menyeruak pada langkah pertamaku menapak tepat di pintu masuk. Aku tersenyum, pun Vea yang terlihat antusias mengamati desain interior kedai yang catchy dengan sentuhan vintage.
“Aku nggak suka kopi, Theo,” rajuknya begitu kami duduk berhadapan di kursi yang menghadap ke jendela, salah satu spot favoritku saat berkunjung di kedai ini. Aku tersenyum menatap Vea. Pesanan datang. Seporsi kopi untukku dan green tea hangat untuk Vea.
“Aku tahu,” balasku sambil mengulum senyum. Vea ikut tersenyum. Sebelum ia mengatakan hal itu, aku tahu Vea benci kopi.
Aku menghirup aroma kopi pesananku, kopi robusta. Aku memejamkan mata ketika aroma lembut kopi robusta dalam cangkirku melesat masuk ke dalam hidungku. Aroma yang khas, membuatku tidak pernah menolak untuk menikmatinya. Kuseruput pelan-pelan cairan hitam panas itu setelah puas menghirup aromanya. Campuran rasa yang sangat pahit dan cenderung sedikit asam dari kopi ini membuatku jatuh cinta berkali-kali. Ya, bagiku pecinta kopi, tidak ada yang lebih menyenangkan daripada menikmati kopi itu sendiri. Aku memejamkan mata, merasakan cairan itu mengalir di tenggorokanku.
“Apa yang kamu suka dari kopi?” tanya Vea begitu mataku terbuka.
            “Setidaknya, dari kopi aku belajar untuk mencintai setiap pahit yang ditawarkan rindu dan mengubahnya menjadi candu,” aku tersenyum. Kata-kataku membungkam mulut Vea dan membuatnya mengukir senyum yang cantik.
            “Benarkah? Apakah merindukanku menjadi candu bagimu?” Vea berbinar. Aku tersenyum sambil meletakkan cangkir kopiku. Aku tersenyum mengangguk. Tentu saja, itu bukan jenis rayuan. Merindukan gadis itu sudah menjadi candu bagiku, layaknya kopi.
            “Lain kali, kamu harus mencobanya, Vea. Ah, mungkin kamu bisa mencoba Javabica, rasanya lebih manis dan lembut,” kataku. Vea tersenyum mengangguk.
            “Apapun itu, aku akan mencobanya nanti,” balas Vea sambil menyeruput green tea miliknya. Aku tersenyum. Aku dan Vea adalah gambaran unik dari sepasang kekasih yang bertolak belakang. Aku pecinta kopi dan Vea adalah pembencinya. Namun, ia tetap tersenyum dan menerima cangkir kopi dan teh kami berdekatan. Itulah cara semesta menyatukan cinta.
            “Jadi, kapan kamu akan belajar minum kopi?” tanyaku bersambut tawa darinya. Senja yang hujan membuat kami berlama-lama di kedai kopi. Tidak lagi berteduh, kami saling berbagi cerita. Veassa membuatku merasakan mencintai seorang perempuan dengan cara yang sederhana. Hanya dengan seporsi kopi dan teh diatas meja, kami bertukar tawa sampai hujan berhenti dan menawarkan aroma tanah basah yang meruah.  
***
Ada satu cangkir kopi yang uapnya masih mengepul di atas meja. Secangkir kopi itu menunggu pemiliknya. Aku memandang cangkir kopi itu tanpa perasaan apapun. Hari ini hatiku tidak memercikkan kebahagiaan saat melihat uap dalam cangkir kopi itu mengepul. Hari ini, setidaknya, untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku tidak berselera terhadap kopi.
            Aku menghela nafas, mengingat lagi percakapanku bersama ayah Vea di senja yang sempat pucat menahan hujan bulan Oktober.
“Vea, anak gadisku satu-satunya yang sudah dewasa. Tentang apa yang seharusnya bisa membuatnya bahagia, aku tidak pernah sekalipun mengusiknya.” Lelaki berkumis tipis di depanku berkata-kata setelah cukup lama memasang jeda.
“Aku tidak pernah memaksakan dengan siapa dia harusnya bahagia. Tapi, untuk masa depannya, aku tidak bisa menyerahkannya pada sembarang lelaki.“
Kata-kata itu seperti busur panah yang melesat dalam kecepatan enol koma sepersekian juta detik, cepat tak terkendali. Aku hanya bisa menahan perasaanku, meski aku tidak bisa menerima pernyataan itu. Aku bisa memastikan bahwa bukan termasuk dalam kategori sembarang lelaki yang disebutkan ayah Vea. Aku—Theo Nurmandesta—adalah lelaki yang siap mencintai Vea dan berada di sampingnya dalam berbagai keadaan. Aku—Theo Nurmandesta—adalah lelaki yang dicintai dan mencintai Vea. Tidak ada yang bisa membahagiakannya kecuali aku. Tidak ada.
“Saya tahu, om. Saya belum bisa memberikan apapun untuk Vea,” kataku, terusik dengan kalimat ‘untuk masa depannya, aku tidak bisa menyerahkannya pada sembarang lelaki’ yang dilontarkan ayah Vea.
“Tapi saya bisa pastikan, saya akan memberikan apapun ketika saya mampu,” ucapku mantap. Lelaki berkumis tipis di depanku memandangku cukup lama. Sorot matanya tajam. Lelaki itu menghisap rokoknya untuk terakhir kali, sebelum mengatakan mantra ajaib terakhirnya yang membuatku tak berkutik.
“Pergilah sampai kamu siap. Pergilah jauh sebelum kamu bisa memberikan apapun yang bisa kamu berikan pada anakku. Bahagiakan dia dengan kepastian, bukan janji yang berlebihan. Kembalilah ketika kamu sudah siap untuk menggantikanku menjaganya. Namun jika tak sanggup kembali, pergilah sejauh-jauhnya. Aku akan bersamakan Vea dengan lelaki yang lebih pantas,” Ayah Vea mematikan api kecil rokoknya, kemudian membuangnya di asbak. Ia menatapku untuk terakhir kali, kemudian melangkah masuk ke dalam rumah.
Hanya ada satu kesimpulan pasti yang kugaris bawahi dalam percakapan sore ini: aku harus pergi. Pergi kemanapun, mempersiapkan diriku untuk Vea, perempuan yang dicintai dua lelaki. Aku dan ayahnya.
            Apakah aku benar-benar harus pergi? Hatiku memekik. Malam ini kuhabiskan waktuku di kedai kopi favoritku tanpa melakukan apapun selain memandang cangkir kopi yang diam di atas meja.
            Apakah aku memang tidak pantas untukmu, Ve? Ingin rasanya kubanting cangkir kopi di depanku. Amarah itu rasanya membeku di ubun-ubunku, memuncak menjadi percikan emosi yang tidak bisa kukendalikan.
            “Argh!” kutampar udara di sekitarku dengan satu gerakan tangan yang cepat. Aku tidak tahan lagi dengan rasa marah yang menggelitikku sejak sore tadi. Malam ini, ingin kulampiaskan kekesalanku dengan bercangkir-cangkir kopi robusta kesukaanku. Kuraih gagang cangkir kopi di depanku. Kutenggak sampai habis robusta milikku yang beranjak mendingin dalam sekali teguk.
            “Bang, robustanya satu lagi, ya!” kugerakkan tanganku ke udara saat barista yang kukenal sedang melempar pandangan ke arahku. Ia mengangguk sambil mengacungkan jempolnya di udara.
            “Theo, kamu disini tanpa mengajakku?” sebuah suara mengudara tepat di sampingku. Aku menoleh dan mendapati Vea sedang tersenyum memandangku. Ia seret kursi di depanku dan dengan segera menghempaskan tubuhnya di kursi itu. “Jadi, kamu ingin menghabiskan porsi kopimu tanpaku? Hmm... jahat!” ia memajukan bibirnya dua senti, kemudian kembali mengulum senyum. Aku menatapnya dengan mata berkaca-kaca.
            “Bang, javabica-nya satu, ya!” Vea melambaikan tangannya ke arah barista yang sedang sibuk mempersiapkan pesananku. Barista itu mengangguk dan tersenyum.
           
            “Kenapa pesan javabica? Kamu tidak biasa minum kopi, Ve. Biar kupesankan lagi green tea favoritmu,” aku buru-buru bangkit dari kursiku. Dengan lembut, tangan Vea meraih tanganku. Ia tersenyum sambil menggeleng.
            “Aku ingin mencobanya, seperti katamu dulu. Setidaknya, javabica lebih baik daripada robusta milikmu,” Vea menjelaskan. “Duduklah, Theo!” paksa gadis itu sambil menarik lenganku. Aku menyerah. Vea memandangku cukup lama. Sepertinya ada banyak hal yang ingin dia sampaikan lewat kedua mata beningnya.
            “Aku mencarimu sore tadi. Kenapa kamu tidak berpamitan padaku kalau mau pulang? Aku kesal setengah mati,” celoteh Vea membuatku mematung menatapnya. “Ayah juga tidak bilang kalau kamu pulang. Ada apa?” Vea menuntut jawaban.
            “M... maaf, aku tadi terburu-buru,” bohongku.
            “Terburu-buru datang kesini?” cecar Vea tanpa melepas pandangannya terhadapku. Pesananku datang. Tanpa mengatakan apapun, kusesap robusta itu pelan-pelan.
“Theo! Itu masih panas!” Vea segera meletakkan cangkir kopiku dan menatapku tajam. “Kamu kenapa?!” gadis itu mulai tidak sabar. Aku memandang kedua mata beningnya yang terlihat merah. Kedua mata itu menatapku marah, sedang aku tidak tahu apa yang sudah kuperbuat hingga membuatnya marah.
            “Vea, aku sudah biasa...” kalimatku belum selesai ketika Vea memotongnya cepat.
            “Aku tahu kamu marah, tapi jangan seperti ini, Theo. Bicaralah padaku!” Vea mulai berkaca-kaca. Ia mengusap tumpahan kecil kopiku dengan tisu yang diambilnya dari dalam tas tangan miliknya.        
            “Vea...” aku menatapnya yang mulai berair mata. Hatiku meremuk seketika. Vea terlihat sibuk membersihkan tumpahan kopiku. Kulihat air matanya meleleh sampai ke dagunya.
            “Bisakah kamu tidak bertingkah kekanak-kanakan, Theo? Kalau lidahmu terbakar bagaimana, huh? Jangan gegabah!” ceracau Vea. Ia tidak terusik dengan lelehan air matanya sendiri. Gadis itu menangis untuk alasan yang tidak kuketahui. Kugerakkan jari-jariku di pipinya, mengusap air mata yang mulai mengering dengan sendirinya. Mataku ikut berkaca-kaca menatap air matanya.
            “Vea...” lirihku. Hatiku ikut berdentum tak karuan. Gadis itu benar-benar menangis.
            Vea memandangku. Ia mengulum senyum dibalik kantung matanya yang mulai berair lagi. “Bicaralah padaku, huh?” ia meraih tanganku yang sibuk mengusap air matanya. “Bilang padaku bahwa kamu akan bertahan bersamaku, Theo.”
            Kata-kata Vea memasung lidahku. Aku hanya bisa memandangnya tanpa mengatakan apapun. Tidak ada aksara yang melintas di otakku ketika melihatnya tersenyum padaku. Pesanan Vea datang. Gadis itu tidak mengucapkan terima kasih, pun memandang barista yang mengantarkan pesanannya. Gadis itu hanya memandangku, menuntut jawaban atas semua pertanyaannya.
“Ve,” bibirku bergetar hebat. “Maafkan aku,” lanjutku akhirnya. Vea masih memandangku, merasa terusik dengan kata maaf yang kuucapkan. Air mukanya berubah dan aku tahu dia kecewa. Ia raih cangkir kopi javabica miliknya, dan menyesapnya pelan-pelan setelah ia tiup sebentar. Ia sempat mengernyitkan dahinya setelah cairan javabica panas itu menyentuh lidahnya. Sudah kuduga, Vea tidak akan suka. Aku tahu Vea dengan baik. Vea benci kopi. Namun hari ini, ia membuat keputusan yang salah. Ia memesan kopi untuk menemani cangkir kopiku.
“Ve, biar kupesankan green tea saja, ya?” aku mulai khawatir. Gadis itu benar-benar membenci kopi. Tapi di depanku, dia menyesap javabica-nya tanpa ragu meski di awal ia merasa asing dengan rasanya. Vea menggeleng.
“Aku ingin merasakannya juga, Theo.” Vea meletakkan cangkir kopinya dan memandangku tanpa kulum senyuman. “Aku ingin merasakan pahitnya kopi seperti apa yang kamu rasakan setiap hari. Hari ini aku yakin kenyataan terlalu pahit untuk kamu sesap sendirian,” mata Vea kembali berkaca-kaca. Aku memandangnya dalam tanda tanya besar. Apa maksudmu, Ve?
“Theo, aku tahu segalanya,” kata-kata Vea membuatku semakin lekat memandangnya. “Aku tahu apa yang ayah katakan padamu. Aku mendengar semuanya. Aku mendengar semua pembelaanmu dan bagaimana ayah membalasnya. Theo, aku bahkan tidak peduli. Kita akan bertahan bersama-sama, kan? Ayah hanya menginginkan waktu yang tepat untuk kebersamaan kita. Kamu akan bertahan bersamaku, kan? Kamu tidak akan menyerah, huh? Theo, aku akan menunggumu jika aku harus melakukannya,”  
Kutenggak kopi robusta milikku sampai habis tanpa menjawab pertanyaan Vea. Pahit itu menjalar di setiap inci lidahku, namun aku tidak peduli. Ada yang lebih pahit dari sekedar kopi ini. Vea benar, kenyataan hari ini terlalu pahit untuk kusesap sendirian. Tapi, aku tidak ingin Vea merasakan pahitnya juga. Vea terlalu berharga untuk seorang aku. Dia berhak bahagia.
“Bang, robustanya satu lagi!” teriakku. Vea memandangku penuh marah.   
“Theo!” Vea memicingkan matanya di hadapanku. Gadis itu benar-benar marah. Dia marah karena aku terlalu banyak memesan kopi. Dia benci melihatku serakah terhadap cangkir-cangkir yang penuh dengan cairan hitam itu.
“Maaf, Vea. Jika kamu memintaku bertahan bersamamu, aku tidak bisa,” ada luka yang melebar ketika kusuarakan pernyataanku barusan. Aku tahu kebohonganku tidak akan membuatku baik-baik saja, malah membuatku semakin sakit. Penolakan ayah Vea terhadapku sore tadi cukup membuatku frustasi. Aku tahu, aku tidak punya harapan lagi. Melihat Vea, membuat kecintaanku terhadap gadis itu semakin tumbuh besar, dan aku takut perasaan itu akan melewati batasnya.
“Kita harus putus, Vea,” aku yakin darah dalam luka hatiku sudah meluber kemana-mana. Aku yakin lubang dalam hatiku sudah semakin melebar sekarang. “Aku... harus pergi darimu,”
“Apakah kamu putus asa, Theo? Apa yang kamu lakukan, huh?”
“Ve, kamu sudah mendengar semuanya. Bukankah sudah jelas untukmu juga? Aku tidak mungkin bertahan bersamamu, Vea. Mengertilah, Ve. Aku tidak bisa,”
“Apa yang membuatmu tidak bisa, Theo? Kubilang aku akan menunggumu jika itu memang harus kulakukan,”
“Ve, kamu tidak mengerti...”
“Apa yang tidak kumengerti, Theo? Apakah kamu benar-benar akan menyerah... terhadapku?” Vea kembali berair mata. Aku memandangnya putus asa. Harga diriku sudah payah di depan ayahnya, aku tidak ingin kali ini aku harus melukai harga diriku lagi jika aku kembali pada ayahnya dengan nyali seperti ini. Aku menyerah.
“Maafkan aku, Vea. Aku minta maaf dengan sepenuh maaf. Aku... tidak bisa lagi bersamamu,”
Vea meraih cangkir kopinya dan menenggak isinya sampai habis. Ia meletakkan selembar mata uang di atas meja. “Bisa tolong kamu bayarkan javabica-ku? Aku harus pulang,” gadis itu bangkit dan berjalan ke arah pintu keluar. Aku memandang punggungnya yang menjauh.
Vea, maafkan aku. Hatiku berteriak penuh luka.
Mataku kembali berkaca-kaca. Satu porsi kopi robusta datang lagi. Tanpa meniupnya, kutenggak cairan panas itu sampai habis. Ada perih yang hebat menjalar di tenggorokanku. Aku tidak peduli. Ada yang lebih perih dari itu. Dan aku tahu, aku sudah melakukan kesalahan fatal dalam hidupku.
Vea terluka. Kenyataan itu menamparku dengan keras. Maafkan aku, Vea. Kebahagiaanmu... bukan bersamaku...
“Theo...” lirih Vea sambil memandang kedai kopi dari kejauhan. Langkahnya penuh marah, namun hatinya penuh sesak. Ia kecewa, sangat kecewa. “Apakah kamu benar-benar menyerah?” air mata kembali luruh dari sudut matanya. Kelopaknya kembali basah. Ia membalikkan badannya dan berlalu pergi.
***
            Empat tahun berlalu sejak aku memutuskan hubunganku dengan Vea. Aku tidak pernah melihatnya lagi sejak itu. Kami seperti terpisah dalam jarak yang tak kasat mata. Sejak empat tahun terakhir, kuhabiskan porsi kopiku sendirian. Tidak ada lagi gadis yang marah ketika aku memesan banyak kopi dalam sekali duduk, tidak ada lagi gadis yang bertanya tentang jenis kopi dan bagaimana rasanya, dan tidak ada lagi cangkir teh yang menemani cangkir kopiku.
            Saat Veassa tiada, aku tahu ada yang salah setiap kuteguk cangkir demi cangkir kopiku. Aku merasakan pahit yang sangat melilit. Pahit yang selama ini kuabaikan. Pada setiap cangkir kopiku, selalu ada rindu yang bertandang. Dan rindu itu menunggu pemiliknya. Veassa, pemilik dari semua rindu yang akhirnya menjadi candu untukku.
            “Reno, kamu dimana? Aku sudah di depan stand kopi yang kamu maksud. Gimana? Setengah jam? Oke, aku tunggu ya!” klik! Kuputuskan sambungan teleponku. Hari ini sahabatku, Reno, mengajakku mengikuti coffee testing di salah satu stand kopi terkenal yang diadakan di festival kopi tahunan kota Malang.
            Seorang barista terlihat memberikan pengarahan. Aku mendengarkannya dengan seksama di antara kumpulan orang-orang yang sepertinya juga sama antusiasnya denganku untuk mengikuti coffee testing ini.
“Oke, nanti waktu coffee testing, kita akan membandingkan dua kopi terlebih dahulu. Anda bisa menghirup aroma kedua jenis kopi yang masih berbentuk serbuk ini terlebih dahulu. Setelah itu, kami akan menyeduh kopi dengan air panas bersuhu 80 derajat Celcius. Biarkan kopi larut hingga krema-nya keluar.
Jadi krema ini adalah esensial kopi yang akan keluar dalam bentuk busa saat kopi diseduh. Semakin tebal kremanya, maka semakin berkualitas kopi tersebut. Setelah itu coba aduk perlahan dari dua arah yang berbeda. Krema akan menyatu dengan keseluruhan isi kopi. Krema akan larut dan menghilang perlahan.
Setelah mengamati krema yang tersisa di sisi-sisi gelas dari masing-masing kopi tersebut, testing kita lanjutkan dengan menghirup aroma kopi. Setelah itu Anda bisa mengambil satu sendok untuk diseruput. Setelah itu, kopi lalu dimuntahkan, bukan ditelan. Karena semakin kuat Anda menyeruput kopi, rasanya akan semakin kuat di lidah.
Setelah menyeruput satu jenis kopi, sendok bekasnya direndam ke dalam air lalu dilap dengan tisu. Langkah yang sama kemudian dilakukan pada kopi kedua. Sebelum mencoba kopi kedua, kami akan memberikan air putih untuk menetralisasi rasanya,” barista selesai menjelaskan. Aku manggut-manggut memahami penjelasan tersebut.
Aku mulai melakukan testing. Pada cangkir pertama aku bisa menebak bahwa itu robusta. Kopi robusta selalu punya taste tersendiri bagiku, dan aku langsung bisa mengenali aroma dan flavor-nya yang datar, sangat pahit dan sepat. Aku tersenyum. “Robusta!” pekikku ketika sesendok kecil cairan kopi menyentuh lidahku. Barista itu tersenyum. Setelah itu, aku memuntahkan kopi yang kuseruput dalam sendok itu.
“Seleramu masih sama, ya?” sebuah suara mengudara di belakangku. Aku baru saja akan melakukan testing untuk kopi kedua sebelum seorang gadis menyejajari posisiku. Ia tersenyum menatapku. “Ah, aku bisa menebak kopi ini!” gadis itu merebut sendok yang baru saja kulap dengan tisu kering. Tanpa seijinku, ia menyeruput sesendok kecil kopi yang diambilnya dari cangkir kedua.
“Arabika!” pekiknya. Barista itu mengacungkan kedua jempolnya. Gadis itu tersenyum lalu menatapku. “Bagaimana? Aku hebat, kan? Aku benar-benar belajar minum kopi dalam empat tahun terakhir,” senyumnya merekah, membuat dadaku berdesir hebat. Rindu itu kembali mencekikku dan candunya menyebar dalam setiap keping darahku.
“Veassa...” aku masih belum benar-benar pulih dari keterkejutanku. Vea tersenyum mengangguk.
“Hai, Theo Nurmandesta. Ya, ini aku. Bagaimana kabar...”
Gadis itu belum sempat melanjutkan kata-katanya ketika aku memeluknya secara spontan. Candu akan rindu itu telah hilang akal dan membuatku overdosis. Aku merindukan Veassa, melebihi lidahku yang setiap hari merindukan robusta. Vea menepuk punggungku pelan. Gadis itu tersenyum dalam pelukanku.
“Apakah rindu itu menjadi candu, Theo?” tanya Vea, membuatku tersenyum dan mengangguk tanpa mengatakan apapun. “Ah... terima kasih robusta, kamu menjaganya untuk tetap merindukanku,” lirih Vea dalam senyuman. Aku memejamkan mata dan dalam hati meminta pada semesta untuk bergerak lebih lama. Vea... aku merindukanmu.  



SELESAI

Selasa, 12 Juli 2016

#GoesToResolusi2016 : Proses Menulis Novel Perdana

Assalamualaikum.
Apa kabar kalian? Semoga selalu baik, ya!
Hmm, cukup lama ya nggak ngeblog, maaf nih, baru sempat ada ide bikin tulisan di blog. Tenang aja, kali ini nggak akan absurd kok isinya, hehe.

Oke, kali ini aku mau berbagi cerita tentang kegiatan yang sedang aku jalani akhir-akhir ini. Jadi, aku lagi 'mencoba' menulis novel. Kenapa mencoba? Karena sebenernya aku udah pernah berusaha nulis novel dan pada akhirnya novel itu tidak jadi-jadi juga sampai sekarang, berakhir di folder-folder yang aku bahkan lupa kalau aku pernah nulis itu *oke, lupakan* haha. Maklum, newbie seperti saya ini memang masih ketergantungan dengan mood menulis. Keseringan kena writer's block *yaitu sebuah sindrom macet pada pikiran seorang penulis pemula dan bukan pemula sehingga ide-ide nulis jadi mampet* dan berakhir pada malas memulai untuk menulis. YEAH!

But, for this moment, aku serius *sambil memandang lurus ke arah matamu*
Rencananya, sebelum tahun 2016 habis, aku harus punya novel sendiri, benar-benar novelku sendiri, karanganku sendiri, kisah hidupku sendiri, dan semuanya serba sendiri *kemudian galau* *jadi, kenapa serba sendiri? jomblo, mbak?* *kemudian baper sambil memandang langit-langit kamar kos*

Tekad yang semakin membulat itu dikuatkan dengan aku yang sudah menamatkan novel karangan aunty Achi yang berjudul Mr. and Mrs. Writer *sumpah aku tertarik banget pas pertama kali baca sinopsisnya dan akhirnya merelakan angpao lebaran berhargaku untuk kuberikan pada mbak kasir T*ga Mas yang bersinar-sinar matanya karena uangku masih mulus*
Ini nih, covernya. Buat kalian penyuka novel, wajib baca ini!



Isinya, jangan ditanya, pas banget buat kalian yang emang punya mimpi banget buat jadi penulis. Duh, jadi baper kan, pokoknya baca sendiri, pasti senyum-senyum dan jadi semakin pengen menerbitkan novel sendiri!

Semenjak itu, semangatku jadi terbakar untuk menerbitkan novel sendiri, tahun ini! *kemudian mengepalkan tangan kuat-kuat di udara*

Tapi, ternyata menulis novel nggak semudah yang aku bayangkan. Dalam bayanganku, aku akan menulis novel, menyelesaikannya, mengirimkannya pada redaksi penerbit, novelku diterbitkan, best seller, aku terkenal, dan kemudian aku jadi artis *oke, lupakan. khayalan tingkat tinggi mahasiswa tingkat akhir. hahaha*

Dalam bayanganku, nulis novel bakalan gampang. Ide mengalir lancar tanpa hambatan dan aku bisa menulis novel dengan nyaman. Ternyata, itu hanya mitos. Menulis novel ternyata butuh perjuangan dan banyak kesulitan. Sebagai contoh, waktu aku mulai menulis per bagiannya, ternyata ada hal-hal yang harus aku perhatikan. Aku harus ingat kejadian-kejadian penting yang pernah aku alami *ini berhubung karena novel yang aku tulis bergenre romance-motivasi based on true story, yang sedikit banyak memerlukan ingatan-ingatan kejadian di masa lalu*

Selain itu, aku juga harus membangun karakter. Harus memikirkan adegan apa yang harus aku tulis selanjutnya, harus memikirkan apa yang bisa menarik pembaca, harus sering-sering mengecek mbah Google untuk sekedar liat tips-tips menulis novel yang baik. Yah, seorang penulis harus berkorban, kan? *menegarkan diri sendiri*


Selain kesulitan-kesulitan itu, ada kesan juga selama menulis novel based on true story-ku ini. Karena memang berdasarkan kisah nyata, aku jadi kebawa ke masa-masa lalu, jadi baper sendiri deh, hahaha. Kejadian-kejadian penting yang merubah hidupku ternyata terlampau banyak untuk kuceritakan satu-satu, tapi well, aku akan melakukannya. Pelan tapi pasti *sambil mengangguk-anggukkan kepala*

Well, pembacaku, doakan ya, semoga perjuangan penulis pemula seperti saya ini tidak berakhir sia-sia. Doakan novelku nggak hanya berakhir menjadi script tanpa arti di folder-folder usang yang tak terbuka lagi. Doakan tahun ini novelku jadi dan best seller sampai akhir. AAMIIN.

Untuk kamu, lelaki 25 Agustus, doakan aku, ya. Semoga aku bisa menepati kata-kataku untuk memberimu hadiah ulang tahun berupa novelku sendiri. Bagaimanapun, kamu pernah menemaniku berjuang dari seorang Igant yang belum dan bukan jadi apa-apa, sampai sekarang yang akhirnya bisa merangkak menulis novelnya sendiri.

Untuk kalian, terima kasih sudah bersedia membaca curhatanku. Kalau novelku jadi, aku akan berterima kasih pada kalian, karena sudah mendoakanku. Dan, doa yang sama juga ya untuk kalian semua.

Bunch of love,
Igant Erisza Maudyna.
Juli, 2016

Kamis, 23 Juni 2016

#SelfPublishing : JADI PENULIS BENERAN! >.<

Welcome back!
Selamat Menjalankan Ibadah Puasa bagi Muslim se-Indonesia. 
Nah, postingan kali ini aku mau promosi sebentar, nih. Biasalah, newbie. Kalo nggak promosi nggak bakal laku nih barang dagangan segudang. HAHA!
Masih inget postingan pertamaku tentang momen aku memenangkan lomba menulis? 
Nah, sekarang bukunya udah terbit, nih. Ada dua antologi cerpenku yang bekerjasama dengan Penerbit Oksana dan Nahima Press, dua penerbit indie yang sudah menelurkan banyak novel sebelumnya. 
Antologi pertamaku judulnya Phobia Chronomaly. Sebuah antologi pemenang lomba menulis cerpen bertema "Phobia" yang diadakan oleh Penerbit Oksana. Sedikit resensi ya, garis besar dari antologi ini menceritakan tentang bagaimana merealisasikan rasa takut yang berlebihan. Banyak genre yang diusung dalam antologi ini, beberapa diantaranya adalah fiksi ilmiah, thriller, horror, komedi, dan sebagainya. Personally, tema yang diusung panitia Oksana ini menurutku cukup menarik. Tema yang nggak mainstream dengan genre yang beragam di setiap cerpennya. Well, kalau penasaran, langsung aja nggak pakek lama, yuk buruan order yaa! Cara pemesanannya bisa dilihat dibawah ini!



Harga: Rp 42.000,- (belum termasuk ongkir)
Tebal buku: 230 halaman
Kalau mau order, silakan sms dengan format di bawah ini:
PHOBIA_Nama Pemesan_Alamat
Kirim sms ke 083830685383 / 087702780340
Untuk ongkir:
Pulau Jawa: Rp 15.000,-
Luar Pulau Jawa: Rp 23.000,-



Next, kita beralih ke antologi keduaku. Untuk antologi keduaku nih terbitan dari Nahima Press dengan judul Follow Your Dream They Will Lead You To Happiness atau bisa disingkat #FYDTWLYTH *apaan sih, Gant*
Kalau sebelumnya tema yang diusung oleh Phobia Chronomaly adalah phobia, kali ini #FYDTWLYTH mengusung tema bebas. Bebas yang kayak gimana, nih?
Temanya sih emang bebas, tapi fokus utamanya adalah based on true story. Jadi, genre yang diusung mungkin berbeda-beda. Ada yang romance, human interest, atau yang lainnya. Kalau sepenangkapanku sih fokus utama admin dalam memberikan tema adalah untuk menginspirasi pembaca. Well, not bad ya. Sambil baca kamu juga bakalan dapat makna yang terkandung dalam setiap isi cerita. 
Penasaran, kan? Yuk buruan order, ya! Cara pemesanannya bisa dilihat diatas. Untuk PO sampai tanggal 25 Juni berlaku harga diskon PO. Diluar itu, berlaku harga normal, ya!

Nah, itu tadi dua antologi cerpenku bersama kawan-kawan pemenang lomba menulis lain yang sudah naik cetak. Mempunyai buku sendiri bagi seorang penulis adalah sebuah kebanggan tersendiri, loh! Apalagi yang diharapkan seorang penulis atas karyanya kalau bukan diakui oleh orang banyak. Nah, bagi kalian yang punya rekan seorang penulis, hargai dia dengan membeli karyanya, jangan melulu pinjem doang, atau nebeng baca, apalagi minta gratisan. Menerbitkan karya nggak segampang itu, guys! Mereka *baca: penulis* harus mengorbankan banyak hal hanya untuk menerbitkan sebuah buku. Jadi, yuk mulai sekarang belajar menghargai karya anak bangsa dengan membeli karyanya. Salam Literasi!

Selasa, 17 Mei 2016

Harry Potter Attack! #AreYouTheNextGryffindor ?

Welcome to my #newestpost !
Hari ini adalah H-4 Praktik Klinik Kebidanan 3 dan aku masih saja terbayang-bayang film Harry Potter yang baru beberapa hari yang lalu aku tamatkan dari chapter pertama sampai yang paling menegangkan, Harry Potter and the Deathly Hallows #2 !
Yeah, aku tau kok kalau aku telat banget histerisnya, wkwk. Dan nggak masalah juga sih baru bisa bilang 'HARRY POTTER KEREN!' akhir-akhir ini setelah liat langsung semua film-filmnya, hehe.
Well, postinganku hari ini tentang keeuforiaanku sama serial film Harry Potter dan aku biasa menyebutnya dengan sindrom Harry Potter Attack ! *YEAY*
Buat kalian yang udah namatin film Harry Potter atau tujuh novel serinya, pasti nggak asing sama nama-nama asramanya, mulai dari Gryffindor, Ravenclaw, Hufflepuff dan yang paling angker menurutku, Slytherin *MENDADAK NARI ULAR*
Nah postinganku kali ini pengen sharing sama kalian tentang kegilaanku buat ikutan tes-tes konyol buat tahu apakah aku adalah penerus Harry Potter untuk masuk di asrama kebanggan semesta, Gryffindor! *YEAY*
Sebelumnya, aku udah ikutan quiz-quiz itu, dan dua kali bahkan tiga kali ikutan, hasilnya aku masuk di asrama Ravenclaw *KEMUDIAN NGELIATIN CERMIN APAKAH TIBA-TIBA AKU BISA JADI SEANEH LUNA LOVEGOOD*
Oke, lupakan! Wkwk.
Karena saking pengennya aku masuk di asrama Gryffindor, aku nggak menyerah untuk ikutan quiz asrama Harry Potter sampai akhirnya aku berhasil masuk di Gryffindor! *YEAY* *GOYANGGOYANGKAYAKCACINGKEPANASAN*


Kalau pengen, bisa langsung cus ke TKP ya! http://id.vonvon.me/quiz/126#question
Saking euforianya sama Harry Potter, sampek segininya ya cuma pengen tau asrama apa yang aku masukin kalo emang dunia Harry Potter ada di dunia nyata, *LOL*
Ya, seenggaknya aku puas karena aku bisa masuk Gryffindor dan itu artinya aku adalah #TheNextGryffindor dan #TheNextHarryPotter di dunia khayalanku. Yeah!
Berhubung kita bahas tentang Harry Potter dan kekerenan ceritanya, aku jadi tergoda untuk mereview filmnya. Well, satu kata untuk film Harry Potter "AMAZING!". Aku kasih stand applause buat mamah J.K. Rowling yang keren banget imajinasinya, bisa menghidupkan karakter Harry Potter yang brave banget, Hermione yang cerdas banget, atau Ron yang penakut banget, wkwk.
Setelah tamat dengan semua seri Harry Potter, aku jadi menunggu karya-karya selanjutnya dari mamah J.K. Rowling yang amazing banget, wiuwiuwiu!
Serius, aku sempet pengen banget bisa nulis novel kayak mamah J.K. Rowling, dan aku cuma sanggup nulis cerpen fiksi fantasi yang masih jauh banget dari karyanya si mamah.
Bisa dicek disini untuk baca ceritaku: http://cerpenmu.com/cerpen-fantasi-fiksi/fingers-sparkle.html
Ngomongin Harry Potter, entahlah, saking kerennya mungkin ya, aku jadi nggak bisa berkata-kata, wkwk.
Oke, jangan pernah bosen nyimak cerita-cerita absurdku ya! Lain kali bakal aku posting yang lebih absurd lagi, wkwk. Bye!

Jumat, 13 Mei 2016

'Lil Something #MoreAboutMe

Selamat Hari Jum'at everibadeeeh...
Ini hari seharusnya aku pulang ke Jombang, dikarenakan kondisi yang lagi nggak enak badan, kayaknya kasur kosan lebih menggoda daripada harus berdesakan dengan orang-orang di bus umum. Hehe
Blog baru nih, untuk yang kesekian kalinya karena aku pelupa sama hal-hal semacam password dan alamat email, akhirnya aku memutuskan untuk membuat blog baru *YEAY* 
Di postingan kali ini aku mau menepati janjiku di postingan pertamaku kemarin yang bilang bakalan kenalan sama kalian di postingan berikutnya.
Namaku IGANT. Igant yaa, I-G-A-N-T. 
Nama yang mungkin terdengar aneh di telinga imut kalian kalau baru pertama kenal *JANGAN PANGGIL AKU MAS IGANT, POKOKNYA JANGAN*
Sebenernya aku juga bingung kenapa bapakku tercinta memberikan nama ini pada anak gadisnya yang unyu-unyu ini, secara, nama Igant terkesan manly abis *KIBASIN PONI*
Dibalik namaku ini, tersimpan sejuta misteri yang kalian nggak tahu, loh. Jadi sejarah panjang dibalik nama Igant Erisza Maudyna, cieee coba dieja lagi ya...
I-G-A-N-T E-R-I-S-Z-A M-A-U-D-Y-N-A.
Susah ya? Iya paham, udah nggak usah protes *EMOTIKON YAWN*
Dibalik nama yang unik dan kece abis itu, ternyata nama itu bukan sembarang nama.
Igant sendiri adalah singkatan dari I Gusti Ayu Ning Tyas *JANGAN PERNAH TANYA APAKAH AKU BERASAL DARI BALI, POKOKNYA JANGAN*
Haha, Well, untuk memperjelas fakta diatas, aku adalah anak Jawa asli. Jawa tulen. Dari kota kecil bernama Jombang yang terkenal dengan Gusdur yang mendunia. Ciaaaaa!
Aku lahir hari Minggu, 4 Februari 1996. Jam rilex *UDAH KAYAK UNDANGAN NIKAHAN* di RSIA Muslimat Jombang. Aku patut berbangga karena lahir sebagai anak pertama, anak yang diharap-harapkan oleh kedua orang tuaku *KEDIP-KEDIPIN MATA* hehe.
Arti nama Igant Erisza Maudyna sendiri itu ternyata bagus meskipun nggak ada unsur ayat Al-Qur'annya. But, ternyata orang tuaku menyiapkan nama yang sangat dalam maknanya sampai aku terharu. Kata bapak, arti dari Igant Erisza Maudyna itu "Harapan Orang Tua agar Anaknya menjadi Penyantun Agama" *CIE IGANT*
Ah, ngomongin nama jadi nggak ada habisnya. Yah, pokoknya siapapun kalian yang baca ini, kuharap kita bisa berteman baik, yaaaa!
Sekarang aku duduk di bangku kuliah semester 6 di Politeknik Kesehatan Kemenkes Malang Prodi Kebidanan Kediri dan termasuk ke dalam kategori "Mahasiswa Termuda" kedua dari 59 mahasiswa *APAAN COBA GANT*
Jadi kalau kalian tanya kenapa aku bisa ada di semester 6 di usia yang lebih muda, itu karena aku sekolah lebih awal, bukan akselerasi. Jadi, kata bapak, sejak umur 3 tahun aku udah ngotot pengen sekolah *MUNGKIN BISA DIBAYANGKAN BAGAIMANA ANAK KECIL USIA 3 TAHUN NGERENGEK MINTA SEKOLAH SAMA BAPAKNYA*
Akhirnya, karena nggak tahan dengan rengekanku itu, bapak memutuskan menyekolahkanku di usia 3 tahun dan masuk SD di usia 6 tahun *BOLEH TEPUK TANGAN KOK* haha.
Sejak SMA, aku udah dipanggil "adek" sama teman-teman sekelas *YA BEBERAPA AJA SIH, NGGAK SEMUANYA* dan sampai kuliahpun masih aja dipanggil "adek". Mungkin inilah efek dari lahir tahun 96 diantara kelahiran tahun 94 dan 95. Dan mungkin juga didukung faktor tinggi badan yang menyedihkan meskipun nggak bisa dibilang pendek-pendek banget, Hehehe. FYI, tinggiku 156 cm! Ya, walaupun pas tes kesehatan di Poltekkes Malang cuma dapet 153 dan pas diukur di lab cuma dapet 154, aku tetep yakin tinggiku 156 *NGELES AJA SIH GANT* haha.
Cukup segini dulu aja ya perkenalannya, kalo dilanjutin bakalan panjang kayak novel nih, wkwk. 
Well, sampai ketemu di postingan berikutnyaaaaaa! :)

Rabu, 11 Mei 2016

My "New" Family #AromaKertas2

Happy Wednesday for #EveryJombloInTheWorld !
Postingan kali ini, aku pengen ngenalin ke kalian, siapa-siapa aja "keluarga baru" yang sudah membuat hariku jadi semakin berwarna akhir-akhir ini *eaaaaaa
Sebelumnya, kita semua tergabung dalam keanggotaan Novelet, suatu komunitas kepenulisan yang menyaring kemampuan penulis-penulis muda berbakat untuk mengerjakan sebuah project kepenulisan. Nah, kebetulan kita semua tergabung dalam project "Aroma Kertas" yang didalangi oleh Kak Imuv, nih. Jadi, sejak project perdana "Aroma Kertas" kami ini, perkenalan kami semakin dekat dan akrab *cieeeeee akrab
Oke langsung aja, *sebenernya postingan ini seharusnya dibuat oleh Padjri yang udah ngomong bakal mosting di blognya tapi... entahlah mungkin dia terlalu sibuk*
Kita mulai darimana nih? Oke, dari yang paling expert dulu deh...

Members of Aroma Kertas 2 (minus ME)
(1) Kak Imuv
Pertama kali kenal ka Imuv, kesan pertama adalah: orang ini humoris, tapi juga bisa galak dalam beberapa kesempatan. Haha peace kak muv! Kak Imuv adalah orang pertama yang mempertemukan kami semua dalam grup Aroma Kertas 2 dan pada akhirnya bisa deket reket akrab banget kayak sekarang. Thanks to kak Imuv, yeay! For Your Information, kak Imuv ini yang menjadi penanggung jawab Aroma Kertas loh!
Dalam beberapa hal, kita sering bergantung pada master kami ini. Dan sepertinya, no one can change his figure for us, ya?

(2) Kak Annisa
Yang paling membekas dalam ingatanku *eaaaa* adalah ketika pertama kali kita kenalan di grup Novelet. Waktu itu kalo nggak salah kita lagi tanya-tanyaan umur dan tanya-tanyaan siapa yang paling tua di Novelet, hahaha. Dan actually, kak Annisa ini beda cuma setahun sama aku, yiha!
Kesan pertama sama kak Annisa, orangnya ceria, hebat karena udah punya buku, alim, santun, dan kadang cerewet sih, hahaha. Maaf kak Nis ya... *sungkem*
Kak Annisa biasanya jadi partner becandaan di grup Aroma Kertas 2, bareng sama Lisna dan musuh bebuyutanku yaitu Padjri, Lia, Fanda, Kak Natsir, dan Dinda.
Kak Annisa adalah yang paling peka soal jodoh *hahahaha, maaf lagi nih kak Nis, wkwk*, kadang gagal paham dan wanita paling bijaksana di Aroma Kertas 2 *eaaaaaaa*

(3) Padjri
Hm... sebenernya aku rada nggak rela aja sih nama Padjri ada di nomer ketiga, secara dia kan nggak exp... *hahaha lupakan, becanda Padj wkwk*
Tapi karena dia adalah musuh bebuyutan dan junior yang selalu jadi korban pembullyanku dan temen-temen yang lain, kayaknya dia pas jadi orang yang berada di nomer ketiga *HAHAHA*
Kesan pertama, nggak ada kesan sih, soalnya kenalan di Novelet juga biasa aja seperti kenalan-kenalan pada umumnya. Mungkin mulai ada kesan bahwa nih anak rada freak, pas join sama Aroma Kertas 2. Karena dia adalah lelaki minoritas, dia jadi lebih sering dibully. But, ketika ada suatu konflik yang menyebabkan kita harus punya satu admin, Padjri tampil sebagai master of admin dan pahlawan Aroma Kertas 2. Sisi dewasanya sebagai penanggung jawab sekaligus pemimpin mampu membawa grup AK2 menjadi damai kembali *cieeeee*
Padjri, kayaknya sampai kapanpun kita bakal jadi partner yang saling membully ya, HAHAHA!

(4) Lisna
Awal kenalan kita gimana ya Lis? Hahaha.
Oh ya, aku inget. Waktu itu pertama kali ada konflik salah satu anggota mau keluar dan grup sempat berdebat hebat, Lisna sempat ngirim personal message ke aku. Dan pada akhirnya kita jadi semakin akrab, hahaha simple banget ya!
Lisna ini anaknya ceplas-ceplos, kadang suka curcol, supel dan humble abis. Hehe *BOLEH TEPUK TANGAN KOK LIS*
Jadi diam-diam aku dan Lisna kadang suka sama-sama sepemikiran, ya mungkin karena faktor golongan darah kami yang sama *B IS THE 'B'EST* wuhuuuu! Jadi kadang kalo chattingan sama ini anak gampang cocoknya, sih.
FYI, aku dan Lisna adalah oknum-oknum yang mengajukan Padjri sebagai admin *ya walaupun pada akhirnya adminnya tetep 4* HAHAHA. Nggak tau aja sih, kita emang sering sepemikiran dan sehati. Wkwk
Lisna, status BBMnya nggak boleh sering galau, drama koreanya nggak boleh diliat sampek malem, jangan mentang-mentang pengangguran dan nggak perlu bangun pagi buat ke sekolah ya, HAHAHA!

(5) Lia
Arema satu ini kadang-kadang jadi penggembira kalo lagi ada pertengkaran kecil di grup, hahaha.
Lia ini sifatnya kadang-kadang pesimistis, walaupun dia udah bakat banget sebenernya. Ya, dibandingkan aku yang mungkin waktu seusianya belum bisa berkesempatan bergabung dengan grup kepenulisan, ya nggak?
Lia adalah salah satu anggota yang magnae diantara kami. Sifat kritisnya, mau bertanya, mau minta bimbingan *udah kayak ngajuin proposal aja*, dan mau tahu tentang dunia kepenulisan sebenernya udah jadi poin + loh Li buat kamu, terusin dong. Hehe.
Terlepas dari fakta-fakta diatas, Lia ini adalah anggota AK2 yang bisa ngumpulin naskahnya jauh-jauh hari loh, yeay! *BOLEH SENYUM KOK LIA, BOLEH*

(6) Kak Natsir
Kadang-kadang aku suka nggak paham sih sama orang ini, hehehe. Menurutku orangnya agak moody ya? Soalnya kadang-kadang gini, tiba-tiba gitu, dan akhirnya gini lagi *apalah ini*
Orang ini adalah yang paling sering berantem sama kak Nisa dan udah kayak sinetron-sinetronan, hahaha. Entahlah, kenapa kalian sering nggak sepaham? Hehe peace kak!

(7) Aisyah
Pertama kenal Ais waktu dia gantiin salah satu anggota AK2 yang left dari grup, ya?
Aisyah ini tipe-tipe pemalu sih di awal, tapi gampang berbaur. Buktinya, hari pertama kenalan kita juga langsung akrab *eh masa?*
Kesan pertama, Aisyah suka nggak pahaman deh ya kadang-kadang, wkwk. Inget banget dulu waktu pertama kenalan di grup, kita becandaan bareng sampek tengah malem.
Ah, kamu orang baru tapi udah kayak temen lama, Ais. Hehe.

(8) Fanda
Fanda the Dragon Warriors, Kungfu Fanda-nya AK2. HAHAHA peace, Fanda!
Fanda, Fanda, Fanda. Hmmm... karena dia jarang join di grup dan aku juga nggak bisa ngenalin kepribadiannya karena intensitas obrolan yang jarang, yah maaf banget ya Fan jadi nggak bisa banyak ngomong dan nyeriwis tentang kamu, hehe. Makanya dong sering join kalo kita lagi ribut di grup, jangan sibuk melulu ya. Hihi
Pokoknya Fanda ini, yang kutahu adalah sama-sama ngecuprusnya kayak member AK2 yang lain, cuma dia nggak lebih ceriwis dari Padjri, Kak Nisa, dan Lisna, hahaha.
Fanda anak baik-baik, nggak bandel kayak temen-temennya yang lain, HAHAHA maaf ya yang lainnya.

(9) Ratih
Same as Fanda, mianne bangeeeeeet nggak bisa banyak ngomentarin sifat kamu, Ratih. Hehehe.
But overall, aku yakin banget semua member AK2 adalah orang-orang yang fleksibel dan supel banget sama orang lain, same as you Ratih :)

(10) Dinda
Awal-awal dulu aku kira dia lebih senior dari aku, tapi ternyata kita sama aja ya, cuma beda setahun. HAHAHA!
Dinda ini dulu masih sering join sama grup, tapi akhir-akhir ini jarang banget. Terhalang kesibukan ya, Din? Hehe.
Yang kutahu, Dinda ini setipe banget lah kayak aku, nggak beda jauh dari sifatnya juga. Sama-sama woles banget lah, dan kadang kita juga sering sepemikiran, sependapat, dan sehati. Hehe
Dinda ini sempet panik karena naskahnya yang nggak kekirim-kirim sampek dia nggak tenang dan nggak bisa tidur, hahaha.
Tapi akhirnya naskah kita semua lolos kan, Din? YEAY!

Sebenernya ada 15 Member ya!
Kak Imuv, Kak Natsir, Kak Anissa, Aku, Padjri, Lisna, Lia, Ratih, Fanda, Aisyah, Dinda, Kak Wey, Kak Lisa, Servita, Khabib
Tapi untuk kak Wey yang tidak ada kabar sampai sekarang, Kak Lisa yang udah left dari grup meskipun masih ikut project, Servita yang izin left karena kesibukannya untuk persiapan tes kepolisian, dan Khabib yang left karena ada project yang lain, aku jadi nggak bisa mendeskripsikan semuanya. Nggak apa-apa, ya?
But, for me, kalian itu istimewa. Semuanya.
Aku bakalan inget banget lah, gimana susahnya perjuangin kita buat bisa bareng-bareng sampek sekarang, seberapa banyak masalah yang kita hadapin dalam grup, gimana serunya waktu bisa sharing dan becanda bareng di grup, buatku semuanya unforgettable sampek pada akhirnya kita semua bakalan bisa jadi satu tim di satu buku *excited* *tiba-tiba terharu*
Makasih ya, udah mau jadi keluarga baruku.
Semoga project-project ke depannya kita selalu barengan, ya! *SAYANG KALIAN*

 

Ketika Tulisan Bercerita... Template by Ipietoon Cute Blog Design and Homestay Bukit Gambang