Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen #MyCupOfStory yang diselenggarakan oleh GIORDANO dan nulisbuku.com
Oleh:
Igant Erisza Maudyna
Langit kota Malang
disapa hujan bulan November pada senja ini. Aku berlarian kecil bersama seorang
gadis yang tertawa-tawa saat kecipak langkah kami meninggalkan bekas becek yang
mengenai sepatunya.
“Yuk!” aku
menggandeng tangan Vea—gadisku—dan mengajaknya berteduh di salah satu kedai
kopi favoritku.
Aroma kopi menyeruak pada
langkah pertamaku menapak tepat di pintu masuk. Aku tersenyum, pun Vea yang
terlihat antusias mengamati desain interior kedai yang catchy dengan sentuhan vintage.
“Aku nggak suka kopi,
Theo,” rajuknya begitu kami duduk berhadapan di kursi yang menghadap ke
jendela, salah satu spot favoritku
saat berkunjung di kedai ini. Aku tersenyum menatap Vea. Pesanan datang. Seporsi
kopi untukku dan green tea hangat
untuk Vea.
“Aku tahu,” balasku
sambil mengulum senyum. Vea ikut tersenyum. Sebelum ia mengatakan hal itu, aku
tahu Vea benci kopi.
Aku menghirup aroma
kopi pesananku, kopi robusta. Aku memejamkan mata ketika aroma lembut kopi
robusta dalam cangkirku melesat masuk ke dalam hidungku. Aroma yang khas,
membuatku tidak pernah menolak untuk menikmatinya. Kuseruput pelan-pelan cairan
hitam panas itu setelah puas menghirup aromanya. Campuran rasa yang sangat
pahit dan cenderung sedikit asam dari kopi ini membuatku jatuh cinta
berkali-kali. Ya, bagiku pecinta kopi, tidak ada yang lebih menyenangkan
daripada menikmati kopi itu sendiri. Aku memejamkan mata, merasakan cairan itu
mengalir di tenggorokanku.
“Apa yang kamu suka
dari kopi?” tanya Vea begitu mataku terbuka.
“Setidaknya,
dari kopi aku belajar untuk mencintai setiap pahit yang ditawarkan rindu dan
mengubahnya menjadi candu,” aku tersenyum. Kata-kataku membungkam mulut Vea dan
membuatnya mengukir senyum yang cantik.
“Benarkah?
Apakah merindukanku menjadi candu bagimu?” Vea berbinar. Aku tersenyum sambil
meletakkan cangkir kopiku. Aku tersenyum mengangguk. Tentu saja, itu bukan jenis
rayuan. Merindukan gadis itu sudah menjadi candu bagiku, layaknya kopi.
“Lain
kali, kamu harus mencobanya, Vea. Ah, mungkin kamu bisa mencoba Javabica,
rasanya lebih manis dan lembut,” kataku. Vea tersenyum mengangguk.
“Apapun
itu, aku akan mencobanya nanti,” balas Vea sambil menyeruput green tea miliknya. Aku tersenyum. Aku dan
Vea adalah gambaran unik dari sepasang kekasih yang bertolak belakang. Aku
pecinta kopi dan Vea adalah pembencinya. Namun, ia tetap tersenyum dan menerima
cangkir kopi dan teh kami berdekatan. Itulah cara semesta menyatukan cinta.
“Jadi,
kapan kamu akan belajar minum kopi?” tanyaku bersambut tawa darinya. Senja yang
hujan membuat kami berlama-lama di kedai kopi. Tidak lagi berteduh, kami saling
berbagi cerita. Veassa membuatku merasakan mencintai seorang perempuan dengan
cara yang sederhana. Hanya dengan seporsi kopi dan teh diatas meja, kami
bertukar tawa sampai hujan berhenti dan menawarkan aroma tanah basah yang
meruah.
***
Ada satu cangkir kopi
yang uapnya masih mengepul di atas meja. Secangkir kopi itu menunggu
pemiliknya. Aku memandang cangkir kopi itu tanpa perasaan apapun. Hari ini
hatiku tidak memercikkan kebahagiaan saat melihat uap dalam cangkir kopi itu
mengepul. Hari ini, setidaknya, untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku tidak
berselera terhadap kopi.
Aku
menghela nafas, mengingat lagi percakapanku bersama ayah Vea di senja yang
sempat pucat menahan hujan bulan Oktober.
“Vea,
anak gadisku satu-satunya yang sudah dewasa. Tentang apa yang seharusnya bisa
membuatnya bahagia, aku tidak pernah sekalipun mengusiknya.” Lelaki berkumis
tipis di depanku berkata-kata setelah cukup lama memasang jeda.
“Aku
tidak pernah memaksakan dengan siapa dia harusnya bahagia. Tapi, untuk masa
depannya, aku tidak bisa menyerahkannya pada sembarang lelaki.“
Kata-kata
itu seperti busur panah yang melesat dalam kecepatan enol koma sepersekian juta
detik, cepat tak terkendali. Aku hanya bisa menahan perasaanku, meski aku tidak
bisa menerima pernyataan itu. Aku bisa memastikan bahwa bukan termasuk dalam
kategori sembarang lelaki yang disebutkan ayah Vea. Aku—Theo Nurmandesta—adalah
lelaki yang siap mencintai Vea dan berada di sampingnya dalam berbagai keadaan.
Aku—Theo Nurmandesta—adalah lelaki yang dicintai dan mencintai Vea. Tidak ada
yang bisa membahagiakannya kecuali aku. Tidak ada.
“Saya
tahu, om. Saya belum bisa memberikan apapun untuk Vea,” kataku, terusik dengan
kalimat ‘untuk masa depannya, aku tidak bisa menyerahkannya pada sembarang
lelaki’ yang dilontarkan ayah Vea.
“Tapi
saya bisa pastikan, saya akan memberikan apapun ketika saya mampu,” ucapku
mantap. Lelaki berkumis tipis di depanku memandangku cukup lama. Sorot matanya
tajam. Lelaki itu menghisap rokoknya untuk terakhir kali, sebelum mengatakan
mantra ajaib terakhirnya yang membuatku tak berkutik.
“Pergilah
sampai kamu siap. Pergilah jauh sebelum kamu bisa memberikan apapun yang bisa
kamu berikan pada anakku. Bahagiakan dia dengan kepastian, bukan janji yang
berlebihan. Kembalilah ketika kamu sudah siap untuk menggantikanku menjaganya.
Namun jika tak sanggup kembali, pergilah sejauh-jauhnya. Aku akan bersamakan
Vea dengan lelaki yang lebih pantas,” Ayah Vea mematikan api kecil rokoknya,
kemudian membuangnya di asbak. Ia menatapku untuk terakhir kali, kemudian
melangkah masuk ke dalam rumah.
Hanya
ada satu kesimpulan pasti yang kugaris bawahi dalam percakapan sore ini: aku
harus pergi. Pergi kemanapun, mempersiapkan diriku untuk Vea, perempuan yang
dicintai dua lelaki. Aku dan ayahnya.
Apakah aku benar-benar harus pergi? Hatiku
memekik. Malam ini kuhabiskan waktuku di kedai kopi favoritku tanpa melakukan
apapun selain memandang cangkir kopi yang diam di atas meja.
Apakah aku memang tidak pantas untukmu, Ve? Ingin
rasanya kubanting cangkir kopi di depanku. Amarah itu rasanya membeku di
ubun-ubunku, memuncak menjadi percikan emosi yang tidak bisa kukendalikan.
“Argh!”
kutampar udara di sekitarku dengan satu gerakan tangan yang cepat. Aku tidak
tahan lagi dengan rasa marah yang menggelitikku sejak sore tadi. Malam ini,
ingin kulampiaskan kekesalanku dengan bercangkir-cangkir kopi robusta kesukaanku.
Kuraih gagang cangkir kopi di depanku. Kutenggak sampai habis robusta milikku yang
beranjak mendingin dalam sekali teguk.
“Bang,
robustanya satu lagi, ya!” kugerakkan tanganku ke udara saat barista yang
kukenal sedang melempar pandangan ke arahku. Ia mengangguk sambil mengacungkan
jempolnya di udara.
“Theo,
kamu disini tanpa mengajakku?” sebuah suara mengudara tepat di sampingku. Aku
menoleh dan mendapati Vea sedang tersenyum memandangku. Ia seret kursi di depanku
dan dengan segera menghempaskan tubuhnya di kursi itu. “Jadi, kamu ingin
menghabiskan porsi kopimu tanpaku? Hmm... jahat!” ia memajukan bibirnya dua
senti, kemudian kembali mengulum senyum. Aku menatapnya dengan mata
berkaca-kaca.
“Bang,
javabica-nya satu, ya!” Vea melambaikan tangannya ke arah barista yang sedang
sibuk mempersiapkan pesananku. Barista itu mengangguk dan tersenyum.
“Kenapa
pesan javabica? Kamu tidak biasa minum kopi, Ve. Biar kupesankan lagi green tea favoritmu,” aku buru-buru bangkit
dari kursiku. Dengan lembut, tangan Vea meraih tanganku. Ia tersenyum sambil
menggeleng.
“Aku
ingin mencobanya, seperti katamu dulu. Setidaknya, javabica lebih baik daripada
robusta milikmu,” Vea menjelaskan. “Duduklah, Theo!” paksa gadis itu sambil
menarik lenganku. Aku menyerah. Vea memandangku cukup lama. Sepertinya ada
banyak hal yang ingin dia sampaikan lewat kedua mata beningnya.
“Aku
mencarimu sore tadi. Kenapa kamu tidak berpamitan padaku kalau mau pulang? Aku
kesal setengah mati,” celoteh Vea membuatku mematung menatapnya. “Ayah juga
tidak bilang kalau kamu pulang. Ada apa?” Vea menuntut jawaban.
“M...
maaf, aku tadi terburu-buru,” bohongku.
“Terburu-buru
datang kesini?” cecar Vea tanpa melepas pandangannya terhadapku. Pesananku
datang. Tanpa mengatakan apapun, kusesap robusta itu pelan-pelan.
“Theo! Itu masih
panas!” Vea segera meletakkan cangkir kopiku dan menatapku tajam. “Kamu
kenapa?!” gadis itu mulai tidak sabar. Aku memandang kedua mata beningnya yang
terlihat merah. Kedua mata itu menatapku marah, sedang aku tidak tahu apa yang
sudah kuperbuat hingga membuatnya marah.
“Vea,
aku sudah biasa...” kalimatku belum selesai ketika Vea memotongnya cepat.
“Aku
tahu kamu marah, tapi jangan seperti ini, Theo. Bicaralah padaku!” Vea mulai
berkaca-kaca. Ia mengusap tumpahan kecil kopiku dengan tisu yang diambilnya
dari dalam tas tangan miliknya.
“Vea...”
aku menatapnya yang mulai berair mata. Hatiku meremuk seketika. Vea terlihat
sibuk membersihkan tumpahan kopiku. Kulihat air matanya meleleh sampai ke
dagunya.
“Bisakah
kamu tidak bertingkah kekanak-kanakan, Theo? Kalau lidahmu terbakar bagaimana,
huh? Jangan gegabah!” ceracau Vea. Ia tidak terusik dengan lelehan air matanya
sendiri. Gadis itu menangis untuk alasan yang tidak kuketahui. Kugerakkan
jari-jariku di pipinya, mengusap air mata yang mulai mengering dengan
sendirinya. Mataku ikut berkaca-kaca menatap air matanya.
“Vea...”
lirihku. Hatiku ikut berdentum tak karuan. Gadis itu benar-benar menangis.
Vea
memandangku. Ia mengulum senyum dibalik kantung matanya yang mulai berair lagi.
“Bicaralah padaku, huh?” ia meraih tanganku yang sibuk mengusap air matanya.
“Bilang padaku bahwa kamu akan bertahan bersamaku, Theo.”
Kata-kata
Vea memasung lidahku. Aku hanya bisa memandangnya tanpa mengatakan apapun.
Tidak ada aksara yang melintas di otakku ketika melihatnya tersenyum padaku. Pesanan
Vea datang. Gadis itu tidak mengucapkan terima kasih, pun memandang barista
yang mengantarkan pesanannya. Gadis itu hanya memandangku, menuntut jawaban
atas semua pertanyaannya.
“Ve,” bibirku
bergetar hebat. “Maafkan aku,” lanjutku akhirnya. Vea masih memandangku, merasa
terusik dengan kata maaf yang kuucapkan. Air mukanya berubah dan aku tahu dia
kecewa. Ia raih cangkir kopi javabica miliknya, dan menyesapnya pelan-pelan
setelah ia tiup sebentar. Ia sempat mengernyitkan dahinya setelah cairan javabica
panas itu menyentuh lidahnya. Sudah kuduga, Vea tidak akan suka. Aku tahu Vea
dengan baik. Vea benci kopi. Namun hari ini, ia membuat keputusan yang salah.
Ia memesan kopi untuk menemani cangkir kopiku.
“Ve, biar kupesankan green tea saja, ya?” aku mulai khawatir.
Gadis itu benar-benar membenci kopi. Tapi di depanku, dia menyesap javabica-nya
tanpa ragu meski di awal ia merasa asing dengan rasanya. Vea menggeleng.
“Aku ingin
merasakannya juga, Theo.” Vea meletakkan cangkir kopinya dan memandangku tanpa
kulum senyuman. “Aku ingin merasakan pahitnya kopi seperti apa yang kamu
rasakan setiap hari. Hari ini aku yakin kenyataan terlalu pahit untuk kamu
sesap sendirian,” mata Vea kembali berkaca-kaca. Aku memandangnya dalam tanda
tanya besar. Apa maksudmu, Ve?
“Theo, aku tahu
segalanya,” kata-kata Vea membuatku semakin lekat memandangnya. “Aku tahu apa
yang ayah katakan padamu. Aku mendengar semuanya. Aku mendengar semua
pembelaanmu dan bagaimana ayah membalasnya. Theo, aku bahkan tidak peduli. Kita
akan bertahan bersama-sama, kan? Ayah hanya menginginkan waktu yang tepat untuk
kebersamaan kita. Kamu akan bertahan bersamaku, kan? Kamu tidak akan menyerah,
huh? Theo, aku akan menunggumu jika aku harus melakukannya,”
Kutenggak kopi
robusta milikku sampai habis tanpa menjawab pertanyaan Vea. Pahit itu menjalar
di setiap inci lidahku, namun aku tidak peduli. Ada yang lebih pahit dari
sekedar kopi ini. Vea benar, kenyataan hari ini terlalu pahit untuk kusesap
sendirian. Tapi, aku tidak ingin Vea merasakan pahitnya juga. Vea terlalu
berharga untuk seorang aku. Dia berhak bahagia.
“Bang, robustanya
satu lagi!” teriakku. Vea memandangku penuh marah.
“Theo!” Vea
memicingkan matanya di hadapanku. Gadis itu benar-benar marah. Dia marah karena
aku terlalu banyak memesan kopi. Dia benci melihatku serakah terhadap
cangkir-cangkir yang penuh dengan cairan hitam itu.
“Maaf, Vea. Jika kamu
memintaku bertahan bersamamu, aku tidak bisa,” ada luka yang melebar ketika
kusuarakan pernyataanku barusan. Aku tahu kebohonganku tidak akan membuatku
baik-baik saja, malah membuatku semakin sakit. Penolakan ayah Vea terhadapku
sore tadi cukup membuatku frustasi. Aku tahu, aku tidak punya harapan lagi. Melihat
Vea, membuat kecintaanku terhadap gadis itu semakin tumbuh besar, dan aku takut
perasaan itu akan melewati batasnya.
“Kita harus putus,
Vea,” aku yakin darah dalam luka hatiku sudah meluber kemana-mana. Aku yakin
lubang dalam hatiku sudah semakin melebar sekarang. “Aku... harus pergi
darimu,”
“Apakah kamu putus
asa, Theo? Apa yang kamu lakukan, huh?”
“Ve, kamu sudah
mendengar semuanya. Bukankah sudah jelas untukmu juga? Aku tidak mungkin
bertahan bersamamu, Vea. Mengertilah, Ve. Aku tidak bisa,”
“Apa yang membuatmu
tidak bisa, Theo? Kubilang aku akan menunggumu jika itu memang harus
kulakukan,”
“Ve, kamu tidak
mengerti...”
“Apa yang tidak
kumengerti, Theo? Apakah kamu benar-benar akan menyerah... terhadapku?” Vea kembali
berair mata. Aku memandangnya putus asa. Harga diriku sudah payah di depan
ayahnya, aku tidak ingin kali ini aku harus melukai harga diriku lagi jika aku
kembali pada ayahnya dengan nyali seperti ini. Aku menyerah.
“Maafkan aku, Vea.
Aku minta maaf dengan sepenuh maaf. Aku... tidak bisa lagi bersamamu,”
Vea meraih cangkir
kopinya dan menenggak isinya sampai habis. Ia meletakkan selembar mata uang di
atas meja. “Bisa tolong kamu bayarkan javabica-ku? Aku harus pulang,” gadis itu
bangkit dan berjalan ke arah pintu keluar. Aku memandang punggungnya yang
menjauh.
Vea,
maafkan aku. Hatiku
berteriak penuh luka.
Mataku kembali
berkaca-kaca. Satu porsi kopi robusta datang lagi. Tanpa meniupnya, kutenggak
cairan panas itu sampai habis. Ada perih yang hebat menjalar di tenggorokanku.
Aku tidak peduli. Ada yang lebih perih dari itu. Dan aku tahu, aku sudah
melakukan kesalahan fatal dalam hidupku.
Vea terluka. Kenyataan
itu menamparku dengan keras. Maafkan aku,
Vea. Kebahagiaanmu... bukan bersamaku...
“Theo...” lirih Vea
sambil memandang kedai kopi dari kejauhan. Langkahnya penuh marah, namun
hatinya penuh sesak. Ia kecewa, sangat kecewa. “Apakah kamu benar-benar
menyerah?” air mata kembali luruh dari sudut matanya. Kelopaknya kembali basah.
Ia membalikkan badannya dan berlalu pergi.
***
Empat
tahun berlalu sejak aku memutuskan hubunganku dengan Vea. Aku tidak pernah melihatnya
lagi sejak itu. Kami seperti terpisah dalam jarak yang tak kasat mata. Sejak empat
tahun terakhir, kuhabiskan porsi kopiku sendirian. Tidak ada lagi gadis yang
marah ketika aku memesan banyak kopi dalam sekali duduk, tidak ada lagi gadis
yang bertanya tentang jenis kopi dan bagaimana rasanya, dan tidak ada lagi
cangkir teh yang menemani cangkir kopiku.
Saat
Veassa tiada, aku tahu ada yang salah setiap kuteguk cangkir demi cangkir
kopiku. Aku merasakan pahit yang sangat melilit. Pahit yang selama ini kuabaikan.
Pada setiap cangkir kopiku, selalu ada rindu yang bertandang. Dan rindu itu
menunggu pemiliknya. Veassa, pemilik dari semua rindu yang akhirnya menjadi
candu untukku.
“Reno,
kamu dimana? Aku sudah di depan stand
kopi yang kamu maksud. Gimana? Setengah jam? Oke, aku tunggu ya!” klik! Kuputuskan
sambungan teleponku. Hari ini sahabatku, Reno, mengajakku mengikuti coffee testing di salah satu stand kopi terkenal yang diadakan di
festival kopi tahunan kota Malang.
Seorang
barista terlihat memberikan pengarahan. Aku mendengarkannya dengan seksama di
antara kumpulan orang-orang yang sepertinya juga sama antusiasnya denganku
untuk mengikuti coffee testing ini.
“Oke, nanti waktu coffee testing, kita akan membandingkan
dua kopi terlebih dahulu. Anda bisa menghirup aroma kedua jenis kopi yang masih
berbentuk serbuk ini terlebih dahulu. Setelah itu, kami akan menyeduh kopi
dengan air panas bersuhu 80 derajat Celcius. Biarkan kopi larut hingga
krema-nya keluar.
Jadi krema ini adalah
esensial kopi yang akan keluar dalam bentuk busa saat kopi diseduh. Semakin
tebal kremanya, maka semakin berkualitas kopi tersebut. Setelah itu coba aduk
perlahan dari dua arah yang berbeda. Krema akan menyatu dengan keseluruhan isi
kopi. Krema akan larut dan menghilang perlahan.
Setelah mengamati
krema yang tersisa di sisi-sisi gelas dari masing-masing kopi tersebut, testing kita lanjutkan dengan menghirup
aroma kopi. Setelah itu Anda bisa mengambil satu sendok untuk diseruput.
Setelah itu, kopi lalu dimuntahkan, bukan ditelan. Karena semakin kuat Anda
menyeruput kopi, rasanya akan semakin kuat di lidah.
Setelah menyeruput
satu jenis kopi, sendok bekasnya direndam ke dalam air lalu dilap dengan tisu.
Langkah yang sama kemudian dilakukan pada kopi kedua. Sebelum mencoba kopi
kedua, kami akan memberikan air putih untuk menetralisasi rasanya,” barista
selesai menjelaskan. Aku manggut-manggut memahami penjelasan tersebut.
Aku mulai melakukan testing. Pada cangkir pertama aku bisa
menebak bahwa itu robusta. Kopi robusta selalu punya taste tersendiri bagiku, dan aku langsung bisa mengenali aroma dan flavor-nya yang datar, sangat pahit dan
sepat. Aku tersenyum. “Robusta!” pekikku ketika sesendok kecil cairan kopi
menyentuh lidahku. Barista itu tersenyum. Setelah itu, aku memuntahkan kopi yang
kuseruput dalam sendok itu.
“Seleramu masih sama,
ya?” sebuah suara mengudara di belakangku. Aku baru saja akan melakukan testing untuk kopi kedua sebelum seorang
gadis menyejajari posisiku. Ia tersenyum menatapku. “Ah, aku bisa menebak kopi
ini!” gadis itu merebut sendok yang baru saja kulap dengan tisu kering. Tanpa seijinku,
ia menyeruput sesendok kecil kopi yang diambilnya dari cangkir kedua.
“Arabika!” pekiknya. Barista
itu mengacungkan kedua jempolnya. Gadis itu tersenyum lalu menatapku. “Bagaimana?
Aku hebat, kan? Aku benar-benar belajar minum kopi dalam empat tahun terakhir,”
senyumnya merekah, membuat dadaku berdesir hebat. Rindu itu kembali mencekikku
dan candunya menyebar dalam setiap keping darahku.
“Veassa...” aku masih
belum benar-benar pulih dari keterkejutanku. Vea tersenyum mengangguk.
“Hai, Theo
Nurmandesta. Ya, ini aku. Bagaimana kabar...”
Gadis itu belum
sempat melanjutkan kata-katanya ketika aku memeluknya secara spontan. Candu akan
rindu itu telah hilang akal dan membuatku overdosis. Aku merindukan Veassa,
melebihi lidahku yang setiap hari merindukan robusta. Vea menepuk punggungku
pelan. Gadis itu tersenyum dalam pelukanku.
“Apakah rindu itu
menjadi candu, Theo?” tanya Vea, membuatku tersenyum dan mengangguk tanpa
mengatakan apapun. “Ah... terima kasih robusta, kamu menjaganya untuk tetap
merindukanku,” lirih Vea dalam senyuman. Aku memejamkan mata dan dalam hati
meminta pada semesta untuk bergerak lebih lama. Vea... aku merindukanmu.
SELESAI
0 komentar:
Posting Komentar