Senin, 22 Agustus 2016

#FantasyFiction : The New World; Indonesia 2099

Cerita fiksi ini ditulis dalam rangka memenuhi #Tantangan12World2099 dari Super Writer 9.

Oleh: Igant Erisza Maudyna

Aku baru saja membuka mata ketika sinar matahari menerobos masuk melalui celah jendela kamarku. Aku berbaring cukup lama menatap dinding kamarku. Aku tidak mau keluar kamar. Disana pasti ada robot mengerikan yang menungguku bangun. Kemudian, dia pasti akan mendorongku ke ruang makan tidak peduli apakah aku mau atau tidak.
Aku menutup wajahku dengan bantal. Argh! Mengapa dunia ini jadi begitu menyeramkan?
Aku takut hidup di rumahku sendiri. Aku takut dengan semuanya. Robot itu, wajah-wajah keluargaku yang ada di ruang makan, acara televisi yang memuakkan. Aku benci semuanya!
“Yuaaaaaaa!” teriakan bunda membuatku melepas bantal yang kututupkan di wajahku. Aku menghela nafas berat. Pagi ini hari Minggu, robot itu pasti tidak tidur semalaman. Dan aku, sama sekali tidak peduli. Memangnya dia siapa? Dia hanya robot. Hanya robot.
“Iya buuuuuuuuun!” balasku berteriak. Pintu kamarku terbuka, dan wajah itu ada disana. Wajah hasil operasi plastik seperti gadis korea. Ah, mengapa seperti itu? Aku benci melihat wajah tidak natural itu. Aku benci hidung yang dipaksakan mancung, benci bibir yang dipaksakan menawan, atau kedua mata bulat dan bulu mata super lentik itu. Aku benci semuanya.
“Bangunlah! Kita sudah siap sarapan di bawah!” bunda berdiri di depan pintu kamar yang terbuka sebagian. Aku bangkit menatap wajah bunda yang sudah menungguku berkata-kata. Ah, lihat wajah itu? Itu tidak nampak baik. Wajah itu... mengerikan. Kemudian, ada wajah robot yang mengintipku dari balik pintu. Aku memutar bola mataku. Dia menatapku sambil tersenyum.
“Selamat pagi, Yua!” aku benci nada bicaranya. Aku benci lambaian tangannya yang bergerak simetris atau senyumnya yang tidak manis. Semua eskpresi wajah robot itu terlalu memuakkan di mataku. Kehidupan macam apa yang kujalani ini!
“Zeta bahkan menyapamu!” bunda tersenyum dan mengusap-usap kepala robot itu dengan senyuman. Aku memutar bola mataku lagi.
“Lima menit lagi, bun,” kataku sambil turun dari tempat tidur. “Aku cuci muka dulu,” ujarku singkat sambil melenggang ke kamar mandi yang ada di dalam kamar.
“Bunda tunggu di bawah ya!” bunda berteriak sekali lagi, kemudian terdengar pintu kamar ditutup. Aku menatap pantulan wajahku di depan cermin kamar mandi. Apa yang salah di dalam kehidupan ini? Aku mengusap mukaku dengan air keran.
 Aku bahkan tidak perlu menggerakkan tanganku untuk menggosok gigi. Disana, sikat gigi itu bergerak otomatis ketika kutekan tombol on. Aku hanya perlu mengarahkan sikat gigi itu ke dalam mulutku, dan dia akan bergerak-gerak otomatis membersihkan gigiku. Bahkan untuk segala hal yang sederhana, manusia di zaman ini tidak perlu bersusah payah menghabiskan tenaganya. Teknologi 2099 sudah tidak perlu ditanyakan lagi. Rumahku sendiri bukan seperti rumah pada umumnya.
Ayah memutuskan untuk membeli peralatan elektronik untuk memudahkan aktivitas keluarga. Tapi bagiku, itu semua seperti neraka. Aku benci semua yang serba ada bahkan ketika aku belum mengambilnya.
Seperti saat ini, aku benci ketika sikat gigi itu berputar-putar di dalam mulutku. Kemudian dalam gerakan cepat, ia berhenti. Ya, sikat gigi itu berhenti otomatis ketika gigiku sudah bersih. Aku tidak perlu memuntahkan odol, sikat gigi itu sudah otomatis menghisapnya. Aku hanya perlu mencuci mulutku sedikit setelah selesai menggosok gigi.
“Kenapa waktu di dunia ini berjalan begitu lama?” aku menggerutu seorang diri sambil mengusap wajahku dengan handuk kecil. Kupandang sekali lagi wajahku yang memantul di cermin. Wajahku masih sama. Wajahku tidak berubah menyeramkan seperti bunda dan adik perempuanku yang memutuskan untuk melakukan operasi plastik yang tak kalah dengan Korea. Dokter di Indonesia sudah kompeten dalam melakukan operasi plastik, dan itu adalah layanan jasa paling diminati saat ini.
Ketika Korea sudah bosan dengan rutinitas operasi plastik yang menghabiskan banyak dana, Indonesia baru memulainya. Layanan jasa yang tidak mahal itu membuat banyak wanita di Indonesia yang dengan sukarela melakukan operasi untuk wajahnya. Korea masih jadi idola, jadi mereka memutuskan untuk membentuk wajah mereka seperti idola-idola mereka. Entah untuk berapa tahun ke depan, Indonesia berada di puncak tertinggi kemajuan teknologinya, sejajar dengan negara-negara maju yang ada di dunia.
Aku termenung. Ada apa dengan duniaku sekarang? Apa yang menyebabkannya berubah sedemikian mengerikan?
“Aku berharap aku punya kemampuan teleportasi untuk hilang dari kehidupan ini,” doaku dalam hati. Aku sudah muak dengan segala kecanggihan negara ini. Aku... sudah muak melihat manusia-manusia di negara ini bertingkah seperti robot, dikendalikan oleh mesin-mesin elektronik.
Namun aku tidak punya kuasa untuk menolaknya. Bahkan jika aku menolak mesin-mesin itu menjalankan aktivitasnya untuk memudahkanku, ayah tetap memaksaku. Bahkan otak-otak manusia telah dikendalikan oleh mesin.
Sungguh, aku muak dengan dunia ini!
Zeta berdiri tak jauh dari pintu kamarku. Robot perempuan seusiaku itu tersenyum begitu aku keluar kamar dan menutup pintunya. Ia menundukkan kepalanya memberikan salam. Aku memandang robot itu. Lihatlah, bahkan aku masih punya teman di dunia nyata, tapi robot ini bertingkah seolah-olah dia diterima dalam kehidupanku. Dia berkata-kata, berperilaku, dan berpikir seperti layaknya temanku. Dia memuakkan, sungguh. Kadang aku berharap aku bisa melenyapkannya yang setiap hari berjaga di kamarku.
Memangnya aku ini apa perlu dijaga? Aku bisa mengurus hidupku sendiri!
“Selamat pagi, Yua!” robot itu tersenyum.
“Pagi,” balasku kemudian menuruni tangga untuk menuju ke ruang makan. Zeta meraih tanganku sebelum aku sempat menapak di anak tangga pertama.
“Aku akan mengantarmu,”
“Tidak! Tidak perlu, aku bisa berjalan sendiri,” tolakku sambil melepas tanganku dari genggaman tangannya. Lihat, bahkan robot seperti Zeta ada tiga di rumahku! Ketika aku tiba di lantai pertama, dua robot yang lain sudah sibuk menyiapkan sarapan pagi. Bunda, ayah, dan adik perempuanku hanya duduk di kursi dengan nyaman. Mereka sibuk dengan ponsel masing-masing. Fitur-fitur canggih terlalu sayang untuk dilewatkan barang sedetik. Lagi-lagi aku muak. Apa yang terjadi pada keluargaku?
Aku menarik kursi, kemudian menghempaskan tubuhku di atasnya. Bunda dan adik perempuanku mengalihkan pandangan dari layar ponsel. Bunda tersenyum menatapku.
“Oh, kamu sudah datang,” kemudian salah satu robot bernama Geatta meletakkan piring di depanku. Aku memandangnya. Robot berwajah paruh baya itu tersenyum memandangku.
“Terima kasih,” ucapku singkat. Robot itu mengangguk kemudian berlalu. Sungguh, aku masih bisa mengambil piringku sendiri.
“Hari ini Frans memasak omelette untuk kita. Cobalah!” kata bunda.
Aku mengambil seporsi omelette dari piring lainnya. Setelah memotongnya, kumasukkan omelette itu dalam mulutku.
“Bagaimana? Enak?” tanya bunda dengan mata berbinar-binar. “Omelette ini adalah omelette terenak yang pernah bunda makan,” mendengar itu, membuatku ingin memuntahkan omelette yang sudah masuk dalam tenggorokanku. Aku sempat melirik Frans yang tersenyum puas di dapur. Aku memutar bola mataku. Robot itu tahu kalau dirinya sedang dipuji. Bunda terlihat memasukkan beberapa potongan omelette di mulutnya, pun adik perempuanku yang terlihat menyukai masakan Frans, robot koki yang ada di rumahku.
“Bisakah kita masak sendiri lain kali, bun?” keluhku. Aku bosan merasakan masakan dari robot. Rasanya memang enak, tetapi aku tetap saja tidak begitu menyukainya. Terlepas dari apapun, tangan manusia lebih baik dalam meracik makanan.
“Mengapa? Masakan yang dibuat Frans juga enak, Yua,” bunda mengernyitkan dahi menjawab pertanyaanku.
“Tetap saja. Kita tidak pernah tahu bahan apa yang dimasukkan Frans ke dalam racikannya,” aku berprasangka buruk. Jangan-jangan dia memasukkan bahan radioaktif atau bahkan racun yang mematikan. Lagi-lagi, aku tidak mempercayai kecanggihan teknologi saat ini. Aku benci tepatnya. Perlu kujelaskan di setiap paragraf bahwa aku benci pada kecanggihan teknologi di abad ini?
Ya, aku benci sepenuh-penuhnya benci. Aku muak!
“Hahaha,” ayah tertawa. “Ada-ada saja kamu, Yua. Mana mungkin Frans meracuni kita. Dia sudah hidup lima tahun bersama kita,” kata ayah. Ia baru saja mengalihkan kedua matanya dari layar ponsel. Aku heran, apa yang mereka lihat disana. Aplikasi macam apa yang sudah menyita seluruh perhatian mereka. Aku muak sepenuh-penuhnya muak. Aku benci keluargaku dikendalikan oleh teknologi itu. Rasanya aku ingin membanting semua alat elektronik yang ada di rumah ini, dan mengembalikan suasana rumah seperti sediakala. Hangat penuh cinta. Sekarang? Ini bukan rumah. Dingin penuh kesenangan yang semu. Ini bukan rumah. Lebih seperti pabrik yang menjalankan robot-robot dengan perintah, kemudian tinggal duduk dan menikmati hasilnya.
“Kalian kenapa?” tanyaku marah.
“Kak,” adik perempuanku menyentuh tanganku, mencoba menghentikan amarahku.
“Apa yang salah, Yua?” tanya bunda.
“Kita hidup dengan sistem macam apa? Sampai kapan kalian akan menggantungkan semua hal pada robot-robot itu? Dan itu, robot itu!” aku menunjuk pada Zeta yang duduk tak jauh dari kursiku. “Mengapa aku harus melihatnya setiap hari di depan kamarku? Mengapa dia harus ada di depan kamarku untuk menjagaku? Memangnya aku ini apa, bun? Bayi? Apakah aku terlihat butuh penjagaan dari robot yang bahkan bukan temanku?”
Kata-kataku membungkam semua mulut yang ada di meja makan. Tak terkecuali Zeta, dia terlihat sedih memandangku.
“Aku hanya ingin kehidupan yang normal. Aku ingin kehidupan kita kembali lagi seperti sediakala? Dan apa itu, the new world Indonesia 2099? Aku benci itu. Aku benci kenapa pemerintah mengajarkan kita bergantung pada benda-benda semacam ini! Aku benci mengapa Indonesia harus menerapkan sistem memuakkan ini?”
“Dan apa itu, setiap hari kalian hanya sibuk dengan gadget masing-masing. Bunda dan adik, yang seharian menghabiskan waktu belanja di mall dan bersenang-senang dengan wajah baru kalian. Ayolah, kita bukan robot juga. Kita perlu waktu untuk bersama-sama. Kita butuh berkomunikasi, saling menatap wajah, kemudian berbagi cerita seperti apa yang kita lakukan dulu,”
Ayah memandangku, pun bunda dan adik perempuanku.
“Mau sampai kapan kita hidup seperti ini, yah, bun, dik?” tanyaku pada mereka. Mulut-mulut itu bungkam tak menjawab. Kuletakkan garpu dan sendokku, kemudian aku bangkit dari kursi.
“Aku pergi dulu,” ujarku kemudian melenggang berlalu. Ketiga orang itu tidak menahanku. Mereka hanya bungkam sebungkam-bungkamnya.
Belum ada lima langkah aku meninggalkan rumah, kulihat sebuah lingkaran berwarna hijau menganga di depanku. Lingkaran itu terlihat seperti sebuah lubang. Aku melangkah ke depan, memandang lubang itu lamat-lamat. Ada cahaya yang tidak terang muncul dari dalam lubang itu. Aku mengernyitkan dahiku. Lubang apa ini? Apakah ini semacam teleportasi?
Aku menyentuh lingkaran hijau itu. Namun seperti ada magnet yang menarik tanganku. Aku terseret masuk ke dalam lubang itu dalam kecepatan enol koma sepersekian detik
“Argh! Ayaaaaaaaah!” teriakku dari dalam lubang. Dua detik kemudian, lubang itu menghilang.
Aku terlempar ke atas ranjang. Nafasku tersengal, nadiku berdenyut cepat, dan jantungku berdetak tak karuan. Aku memandang ruangan yang terlihat familiar. Cat dinding berwarna biru laut, penataan kamar yang sangat kuhafal, meja belajar di depan jendela dan lemari yang menghadap ranjang. Semuanya terlihat sama dengan kamarku.
“Aku... di rumah?” dahiku mengernyit lagi. Lalu, untuk apa teleportasi itu membawaku kesini? Toh, tanpa membawaku kesini, aku akan kemari lagi pada akhirnya.
“Yuaaaaaaaaaaaaaa!” terdengar bunda berteriak. Aku menolehkan kepala ke arah pintu kamar. Kejadian ini...
“Bangunlah! Kita sudah siap sarapan di bawah!” bunda berdiri di depan pintu kamar yang terbuka sebagian. Bunda tersenyum menatapku. Aku hanya bisa menatap bunda dengan tatapan penuh tanya. Ada apa ini?
Kemudian aku yakin, Zeta akan muncul dari balik pintu dan menyapaku. Kutunggu beberapa saat, tetapi Zeta tidak lagi muncul. Bukankah aku sudah mengalami kejadian ini? Seharusnya Zeta ada. Tetapi sekali lagi, robot itu tidak muncul.
“Bun, mana Zeta?” tanyaku.
“Zeta? Zeta siapa?” tanya bunda.
Aku kaget mendengar jawaban bunda. Seharusnya bunda lebih tahu siapa Zeta, robot yang selalu ada 24 jam nonstop di depan pintu kamarku.
“Z... zeta, bunda tidak mengenalnya?” tanyaku terbata. Bunda menggeleng. Tunggu! Aku tidak melihat hidung mancung, mata bulat, bibir menawan yang seharusnya aku lihat hari ini. Wajah bunda... berubah?
“Kamu ini kenapa, Yua? Ayo turun dan makan. Ayah sudah menunggu daritadi,” bunda tersenyum kemudian menutup pintu kamar.
Aku memutar bola mataku, kemudian menghela nafas berat. Sebenarnya aku hidup di abad keberapa? Bukankah seharusnya aku ada di rumah di tahun 2099? Mataku tertumbuk pada kalender yang berada tidak jauh dari ranjangku. Agustus, 2016.
Aku mengernyitkan dahi. Ini tahun 2016?

Kediri, 23 Agustus 2016
6.42 AM

Minggu, 21 Agustus 2016

Seporsi Kopi untuk Veassa

Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen #MyCupOfStory yang diselenggarakan oleh GIORDANO dan nulisbuku.com

Oleh: Igant Erisza Maudyna

Langit kota Malang disapa hujan bulan November pada senja ini. Aku berlarian kecil bersama seorang gadis yang tertawa-tawa saat kecipak langkah kami meninggalkan bekas becek yang mengenai sepatunya.
“Yuk!” aku menggandeng tangan Vea—gadisku—dan mengajaknya berteduh di salah satu kedai kopi favoritku.
Aroma kopi menyeruak pada langkah pertamaku menapak tepat di pintu masuk. Aku tersenyum, pun Vea yang terlihat antusias mengamati desain interior kedai yang catchy dengan sentuhan vintage.
“Aku nggak suka kopi, Theo,” rajuknya begitu kami duduk berhadapan di kursi yang menghadap ke jendela, salah satu spot favoritku saat berkunjung di kedai ini. Aku tersenyum menatap Vea. Pesanan datang. Seporsi kopi untukku dan green tea hangat untuk Vea.
“Aku tahu,” balasku sambil mengulum senyum. Vea ikut tersenyum. Sebelum ia mengatakan hal itu, aku tahu Vea benci kopi.
Aku menghirup aroma kopi pesananku, kopi robusta. Aku memejamkan mata ketika aroma lembut kopi robusta dalam cangkirku melesat masuk ke dalam hidungku. Aroma yang khas, membuatku tidak pernah menolak untuk menikmatinya. Kuseruput pelan-pelan cairan hitam panas itu setelah puas menghirup aromanya. Campuran rasa yang sangat pahit dan cenderung sedikit asam dari kopi ini membuatku jatuh cinta berkali-kali. Ya, bagiku pecinta kopi, tidak ada yang lebih menyenangkan daripada menikmati kopi itu sendiri. Aku memejamkan mata, merasakan cairan itu mengalir di tenggorokanku.
“Apa yang kamu suka dari kopi?” tanya Vea begitu mataku terbuka.
            “Setidaknya, dari kopi aku belajar untuk mencintai setiap pahit yang ditawarkan rindu dan mengubahnya menjadi candu,” aku tersenyum. Kata-kataku membungkam mulut Vea dan membuatnya mengukir senyum yang cantik.
            “Benarkah? Apakah merindukanku menjadi candu bagimu?” Vea berbinar. Aku tersenyum sambil meletakkan cangkir kopiku. Aku tersenyum mengangguk. Tentu saja, itu bukan jenis rayuan. Merindukan gadis itu sudah menjadi candu bagiku, layaknya kopi.
            “Lain kali, kamu harus mencobanya, Vea. Ah, mungkin kamu bisa mencoba Javabica, rasanya lebih manis dan lembut,” kataku. Vea tersenyum mengangguk.
            “Apapun itu, aku akan mencobanya nanti,” balas Vea sambil menyeruput green tea miliknya. Aku tersenyum. Aku dan Vea adalah gambaran unik dari sepasang kekasih yang bertolak belakang. Aku pecinta kopi dan Vea adalah pembencinya. Namun, ia tetap tersenyum dan menerima cangkir kopi dan teh kami berdekatan. Itulah cara semesta menyatukan cinta.
            “Jadi, kapan kamu akan belajar minum kopi?” tanyaku bersambut tawa darinya. Senja yang hujan membuat kami berlama-lama di kedai kopi. Tidak lagi berteduh, kami saling berbagi cerita. Veassa membuatku merasakan mencintai seorang perempuan dengan cara yang sederhana. Hanya dengan seporsi kopi dan teh diatas meja, kami bertukar tawa sampai hujan berhenti dan menawarkan aroma tanah basah yang meruah.  
***
Ada satu cangkir kopi yang uapnya masih mengepul di atas meja. Secangkir kopi itu menunggu pemiliknya. Aku memandang cangkir kopi itu tanpa perasaan apapun. Hari ini hatiku tidak memercikkan kebahagiaan saat melihat uap dalam cangkir kopi itu mengepul. Hari ini, setidaknya, untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku tidak berselera terhadap kopi.
            Aku menghela nafas, mengingat lagi percakapanku bersama ayah Vea di senja yang sempat pucat menahan hujan bulan Oktober.
“Vea, anak gadisku satu-satunya yang sudah dewasa. Tentang apa yang seharusnya bisa membuatnya bahagia, aku tidak pernah sekalipun mengusiknya.” Lelaki berkumis tipis di depanku berkata-kata setelah cukup lama memasang jeda.
“Aku tidak pernah memaksakan dengan siapa dia harusnya bahagia. Tapi, untuk masa depannya, aku tidak bisa menyerahkannya pada sembarang lelaki.“
Kata-kata itu seperti busur panah yang melesat dalam kecepatan enol koma sepersekian juta detik, cepat tak terkendali. Aku hanya bisa menahan perasaanku, meski aku tidak bisa menerima pernyataan itu. Aku bisa memastikan bahwa bukan termasuk dalam kategori sembarang lelaki yang disebutkan ayah Vea. Aku—Theo Nurmandesta—adalah lelaki yang siap mencintai Vea dan berada di sampingnya dalam berbagai keadaan. Aku—Theo Nurmandesta—adalah lelaki yang dicintai dan mencintai Vea. Tidak ada yang bisa membahagiakannya kecuali aku. Tidak ada.
“Saya tahu, om. Saya belum bisa memberikan apapun untuk Vea,” kataku, terusik dengan kalimat ‘untuk masa depannya, aku tidak bisa menyerahkannya pada sembarang lelaki’ yang dilontarkan ayah Vea.
“Tapi saya bisa pastikan, saya akan memberikan apapun ketika saya mampu,” ucapku mantap. Lelaki berkumis tipis di depanku memandangku cukup lama. Sorot matanya tajam. Lelaki itu menghisap rokoknya untuk terakhir kali, sebelum mengatakan mantra ajaib terakhirnya yang membuatku tak berkutik.
“Pergilah sampai kamu siap. Pergilah jauh sebelum kamu bisa memberikan apapun yang bisa kamu berikan pada anakku. Bahagiakan dia dengan kepastian, bukan janji yang berlebihan. Kembalilah ketika kamu sudah siap untuk menggantikanku menjaganya. Namun jika tak sanggup kembali, pergilah sejauh-jauhnya. Aku akan bersamakan Vea dengan lelaki yang lebih pantas,” Ayah Vea mematikan api kecil rokoknya, kemudian membuangnya di asbak. Ia menatapku untuk terakhir kali, kemudian melangkah masuk ke dalam rumah.
Hanya ada satu kesimpulan pasti yang kugaris bawahi dalam percakapan sore ini: aku harus pergi. Pergi kemanapun, mempersiapkan diriku untuk Vea, perempuan yang dicintai dua lelaki. Aku dan ayahnya.
            Apakah aku benar-benar harus pergi? Hatiku memekik. Malam ini kuhabiskan waktuku di kedai kopi favoritku tanpa melakukan apapun selain memandang cangkir kopi yang diam di atas meja.
            Apakah aku memang tidak pantas untukmu, Ve? Ingin rasanya kubanting cangkir kopi di depanku. Amarah itu rasanya membeku di ubun-ubunku, memuncak menjadi percikan emosi yang tidak bisa kukendalikan.
            “Argh!” kutampar udara di sekitarku dengan satu gerakan tangan yang cepat. Aku tidak tahan lagi dengan rasa marah yang menggelitikku sejak sore tadi. Malam ini, ingin kulampiaskan kekesalanku dengan bercangkir-cangkir kopi robusta kesukaanku. Kuraih gagang cangkir kopi di depanku. Kutenggak sampai habis robusta milikku yang beranjak mendingin dalam sekali teguk.
            “Bang, robustanya satu lagi, ya!” kugerakkan tanganku ke udara saat barista yang kukenal sedang melempar pandangan ke arahku. Ia mengangguk sambil mengacungkan jempolnya di udara.
            “Theo, kamu disini tanpa mengajakku?” sebuah suara mengudara tepat di sampingku. Aku menoleh dan mendapati Vea sedang tersenyum memandangku. Ia seret kursi di depanku dan dengan segera menghempaskan tubuhnya di kursi itu. “Jadi, kamu ingin menghabiskan porsi kopimu tanpaku? Hmm... jahat!” ia memajukan bibirnya dua senti, kemudian kembali mengulum senyum. Aku menatapnya dengan mata berkaca-kaca.
            “Bang, javabica-nya satu, ya!” Vea melambaikan tangannya ke arah barista yang sedang sibuk mempersiapkan pesananku. Barista itu mengangguk dan tersenyum.
           
            “Kenapa pesan javabica? Kamu tidak biasa minum kopi, Ve. Biar kupesankan lagi green tea favoritmu,” aku buru-buru bangkit dari kursiku. Dengan lembut, tangan Vea meraih tanganku. Ia tersenyum sambil menggeleng.
            “Aku ingin mencobanya, seperti katamu dulu. Setidaknya, javabica lebih baik daripada robusta milikmu,” Vea menjelaskan. “Duduklah, Theo!” paksa gadis itu sambil menarik lenganku. Aku menyerah. Vea memandangku cukup lama. Sepertinya ada banyak hal yang ingin dia sampaikan lewat kedua mata beningnya.
            “Aku mencarimu sore tadi. Kenapa kamu tidak berpamitan padaku kalau mau pulang? Aku kesal setengah mati,” celoteh Vea membuatku mematung menatapnya. “Ayah juga tidak bilang kalau kamu pulang. Ada apa?” Vea menuntut jawaban.
            “M... maaf, aku tadi terburu-buru,” bohongku.
            “Terburu-buru datang kesini?” cecar Vea tanpa melepas pandangannya terhadapku. Pesananku datang. Tanpa mengatakan apapun, kusesap robusta itu pelan-pelan.
“Theo! Itu masih panas!” Vea segera meletakkan cangkir kopiku dan menatapku tajam. “Kamu kenapa?!” gadis itu mulai tidak sabar. Aku memandang kedua mata beningnya yang terlihat merah. Kedua mata itu menatapku marah, sedang aku tidak tahu apa yang sudah kuperbuat hingga membuatnya marah.
            “Vea, aku sudah biasa...” kalimatku belum selesai ketika Vea memotongnya cepat.
            “Aku tahu kamu marah, tapi jangan seperti ini, Theo. Bicaralah padaku!” Vea mulai berkaca-kaca. Ia mengusap tumpahan kecil kopiku dengan tisu yang diambilnya dari dalam tas tangan miliknya.        
            “Vea...” aku menatapnya yang mulai berair mata. Hatiku meremuk seketika. Vea terlihat sibuk membersihkan tumpahan kopiku. Kulihat air matanya meleleh sampai ke dagunya.
            “Bisakah kamu tidak bertingkah kekanak-kanakan, Theo? Kalau lidahmu terbakar bagaimana, huh? Jangan gegabah!” ceracau Vea. Ia tidak terusik dengan lelehan air matanya sendiri. Gadis itu menangis untuk alasan yang tidak kuketahui. Kugerakkan jari-jariku di pipinya, mengusap air mata yang mulai mengering dengan sendirinya. Mataku ikut berkaca-kaca menatap air matanya.
            “Vea...” lirihku. Hatiku ikut berdentum tak karuan. Gadis itu benar-benar menangis.
            Vea memandangku. Ia mengulum senyum dibalik kantung matanya yang mulai berair lagi. “Bicaralah padaku, huh?” ia meraih tanganku yang sibuk mengusap air matanya. “Bilang padaku bahwa kamu akan bertahan bersamaku, Theo.”
            Kata-kata Vea memasung lidahku. Aku hanya bisa memandangnya tanpa mengatakan apapun. Tidak ada aksara yang melintas di otakku ketika melihatnya tersenyum padaku. Pesanan Vea datang. Gadis itu tidak mengucapkan terima kasih, pun memandang barista yang mengantarkan pesanannya. Gadis itu hanya memandangku, menuntut jawaban atas semua pertanyaannya.
“Ve,” bibirku bergetar hebat. “Maafkan aku,” lanjutku akhirnya. Vea masih memandangku, merasa terusik dengan kata maaf yang kuucapkan. Air mukanya berubah dan aku tahu dia kecewa. Ia raih cangkir kopi javabica miliknya, dan menyesapnya pelan-pelan setelah ia tiup sebentar. Ia sempat mengernyitkan dahinya setelah cairan javabica panas itu menyentuh lidahnya. Sudah kuduga, Vea tidak akan suka. Aku tahu Vea dengan baik. Vea benci kopi. Namun hari ini, ia membuat keputusan yang salah. Ia memesan kopi untuk menemani cangkir kopiku.
“Ve, biar kupesankan green tea saja, ya?” aku mulai khawatir. Gadis itu benar-benar membenci kopi. Tapi di depanku, dia menyesap javabica-nya tanpa ragu meski di awal ia merasa asing dengan rasanya. Vea menggeleng.
“Aku ingin merasakannya juga, Theo.” Vea meletakkan cangkir kopinya dan memandangku tanpa kulum senyuman. “Aku ingin merasakan pahitnya kopi seperti apa yang kamu rasakan setiap hari. Hari ini aku yakin kenyataan terlalu pahit untuk kamu sesap sendirian,” mata Vea kembali berkaca-kaca. Aku memandangnya dalam tanda tanya besar. Apa maksudmu, Ve?
“Theo, aku tahu segalanya,” kata-kata Vea membuatku semakin lekat memandangnya. “Aku tahu apa yang ayah katakan padamu. Aku mendengar semuanya. Aku mendengar semua pembelaanmu dan bagaimana ayah membalasnya. Theo, aku bahkan tidak peduli. Kita akan bertahan bersama-sama, kan? Ayah hanya menginginkan waktu yang tepat untuk kebersamaan kita. Kamu akan bertahan bersamaku, kan? Kamu tidak akan menyerah, huh? Theo, aku akan menunggumu jika aku harus melakukannya,”  
Kutenggak kopi robusta milikku sampai habis tanpa menjawab pertanyaan Vea. Pahit itu menjalar di setiap inci lidahku, namun aku tidak peduli. Ada yang lebih pahit dari sekedar kopi ini. Vea benar, kenyataan hari ini terlalu pahit untuk kusesap sendirian. Tapi, aku tidak ingin Vea merasakan pahitnya juga. Vea terlalu berharga untuk seorang aku. Dia berhak bahagia.
“Bang, robustanya satu lagi!” teriakku. Vea memandangku penuh marah.   
“Theo!” Vea memicingkan matanya di hadapanku. Gadis itu benar-benar marah. Dia marah karena aku terlalu banyak memesan kopi. Dia benci melihatku serakah terhadap cangkir-cangkir yang penuh dengan cairan hitam itu.
“Maaf, Vea. Jika kamu memintaku bertahan bersamamu, aku tidak bisa,” ada luka yang melebar ketika kusuarakan pernyataanku barusan. Aku tahu kebohonganku tidak akan membuatku baik-baik saja, malah membuatku semakin sakit. Penolakan ayah Vea terhadapku sore tadi cukup membuatku frustasi. Aku tahu, aku tidak punya harapan lagi. Melihat Vea, membuat kecintaanku terhadap gadis itu semakin tumbuh besar, dan aku takut perasaan itu akan melewati batasnya.
“Kita harus putus, Vea,” aku yakin darah dalam luka hatiku sudah meluber kemana-mana. Aku yakin lubang dalam hatiku sudah semakin melebar sekarang. “Aku... harus pergi darimu,”
“Apakah kamu putus asa, Theo? Apa yang kamu lakukan, huh?”
“Ve, kamu sudah mendengar semuanya. Bukankah sudah jelas untukmu juga? Aku tidak mungkin bertahan bersamamu, Vea. Mengertilah, Ve. Aku tidak bisa,”
“Apa yang membuatmu tidak bisa, Theo? Kubilang aku akan menunggumu jika itu memang harus kulakukan,”
“Ve, kamu tidak mengerti...”
“Apa yang tidak kumengerti, Theo? Apakah kamu benar-benar akan menyerah... terhadapku?” Vea kembali berair mata. Aku memandangnya putus asa. Harga diriku sudah payah di depan ayahnya, aku tidak ingin kali ini aku harus melukai harga diriku lagi jika aku kembali pada ayahnya dengan nyali seperti ini. Aku menyerah.
“Maafkan aku, Vea. Aku minta maaf dengan sepenuh maaf. Aku... tidak bisa lagi bersamamu,”
Vea meraih cangkir kopinya dan menenggak isinya sampai habis. Ia meletakkan selembar mata uang di atas meja. “Bisa tolong kamu bayarkan javabica-ku? Aku harus pulang,” gadis itu bangkit dan berjalan ke arah pintu keluar. Aku memandang punggungnya yang menjauh.
Vea, maafkan aku. Hatiku berteriak penuh luka.
Mataku kembali berkaca-kaca. Satu porsi kopi robusta datang lagi. Tanpa meniupnya, kutenggak cairan panas itu sampai habis. Ada perih yang hebat menjalar di tenggorokanku. Aku tidak peduli. Ada yang lebih perih dari itu. Dan aku tahu, aku sudah melakukan kesalahan fatal dalam hidupku.
Vea terluka. Kenyataan itu menamparku dengan keras. Maafkan aku, Vea. Kebahagiaanmu... bukan bersamaku...
“Theo...” lirih Vea sambil memandang kedai kopi dari kejauhan. Langkahnya penuh marah, namun hatinya penuh sesak. Ia kecewa, sangat kecewa. “Apakah kamu benar-benar menyerah?” air mata kembali luruh dari sudut matanya. Kelopaknya kembali basah. Ia membalikkan badannya dan berlalu pergi.
***
            Empat tahun berlalu sejak aku memutuskan hubunganku dengan Vea. Aku tidak pernah melihatnya lagi sejak itu. Kami seperti terpisah dalam jarak yang tak kasat mata. Sejak empat tahun terakhir, kuhabiskan porsi kopiku sendirian. Tidak ada lagi gadis yang marah ketika aku memesan banyak kopi dalam sekali duduk, tidak ada lagi gadis yang bertanya tentang jenis kopi dan bagaimana rasanya, dan tidak ada lagi cangkir teh yang menemani cangkir kopiku.
            Saat Veassa tiada, aku tahu ada yang salah setiap kuteguk cangkir demi cangkir kopiku. Aku merasakan pahit yang sangat melilit. Pahit yang selama ini kuabaikan. Pada setiap cangkir kopiku, selalu ada rindu yang bertandang. Dan rindu itu menunggu pemiliknya. Veassa, pemilik dari semua rindu yang akhirnya menjadi candu untukku.
            “Reno, kamu dimana? Aku sudah di depan stand kopi yang kamu maksud. Gimana? Setengah jam? Oke, aku tunggu ya!” klik! Kuputuskan sambungan teleponku. Hari ini sahabatku, Reno, mengajakku mengikuti coffee testing di salah satu stand kopi terkenal yang diadakan di festival kopi tahunan kota Malang.
            Seorang barista terlihat memberikan pengarahan. Aku mendengarkannya dengan seksama di antara kumpulan orang-orang yang sepertinya juga sama antusiasnya denganku untuk mengikuti coffee testing ini.
“Oke, nanti waktu coffee testing, kita akan membandingkan dua kopi terlebih dahulu. Anda bisa menghirup aroma kedua jenis kopi yang masih berbentuk serbuk ini terlebih dahulu. Setelah itu, kami akan menyeduh kopi dengan air panas bersuhu 80 derajat Celcius. Biarkan kopi larut hingga krema-nya keluar.
Jadi krema ini adalah esensial kopi yang akan keluar dalam bentuk busa saat kopi diseduh. Semakin tebal kremanya, maka semakin berkualitas kopi tersebut. Setelah itu coba aduk perlahan dari dua arah yang berbeda. Krema akan menyatu dengan keseluruhan isi kopi. Krema akan larut dan menghilang perlahan.
Setelah mengamati krema yang tersisa di sisi-sisi gelas dari masing-masing kopi tersebut, testing kita lanjutkan dengan menghirup aroma kopi. Setelah itu Anda bisa mengambil satu sendok untuk diseruput. Setelah itu, kopi lalu dimuntahkan, bukan ditelan. Karena semakin kuat Anda menyeruput kopi, rasanya akan semakin kuat di lidah.
Setelah menyeruput satu jenis kopi, sendok bekasnya direndam ke dalam air lalu dilap dengan tisu. Langkah yang sama kemudian dilakukan pada kopi kedua. Sebelum mencoba kopi kedua, kami akan memberikan air putih untuk menetralisasi rasanya,” barista selesai menjelaskan. Aku manggut-manggut memahami penjelasan tersebut.
Aku mulai melakukan testing. Pada cangkir pertama aku bisa menebak bahwa itu robusta. Kopi robusta selalu punya taste tersendiri bagiku, dan aku langsung bisa mengenali aroma dan flavor-nya yang datar, sangat pahit dan sepat. Aku tersenyum. “Robusta!” pekikku ketika sesendok kecil cairan kopi menyentuh lidahku. Barista itu tersenyum. Setelah itu, aku memuntahkan kopi yang kuseruput dalam sendok itu.
“Seleramu masih sama, ya?” sebuah suara mengudara di belakangku. Aku baru saja akan melakukan testing untuk kopi kedua sebelum seorang gadis menyejajari posisiku. Ia tersenyum menatapku. “Ah, aku bisa menebak kopi ini!” gadis itu merebut sendok yang baru saja kulap dengan tisu kering. Tanpa seijinku, ia menyeruput sesendok kecil kopi yang diambilnya dari cangkir kedua.
“Arabika!” pekiknya. Barista itu mengacungkan kedua jempolnya. Gadis itu tersenyum lalu menatapku. “Bagaimana? Aku hebat, kan? Aku benar-benar belajar minum kopi dalam empat tahun terakhir,” senyumnya merekah, membuat dadaku berdesir hebat. Rindu itu kembali mencekikku dan candunya menyebar dalam setiap keping darahku.
“Veassa...” aku masih belum benar-benar pulih dari keterkejutanku. Vea tersenyum mengangguk.
“Hai, Theo Nurmandesta. Ya, ini aku. Bagaimana kabar...”
Gadis itu belum sempat melanjutkan kata-katanya ketika aku memeluknya secara spontan. Candu akan rindu itu telah hilang akal dan membuatku overdosis. Aku merindukan Veassa, melebihi lidahku yang setiap hari merindukan robusta. Vea menepuk punggungku pelan. Gadis itu tersenyum dalam pelukanku.
“Apakah rindu itu menjadi candu, Theo?” tanya Vea, membuatku tersenyum dan mengangguk tanpa mengatakan apapun. “Ah... terima kasih robusta, kamu menjaganya untuk tetap merindukanku,” lirih Vea dalam senyuman. Aku memejamkan mata dan dalam hati meminta pada semesta untuk bergerak lebih lama. Vea... aku merindukanmu.  



SELESAI
 

Ketika Tulisan Bercerita... Template by Ipietoon Cute Blog Design and Homestay Bukit Gambang