Cerita fiksi ini ditulis dalam rangka memenuhi #Tantangan12World2099 dari Super Writer 9.
Oleh:
Igant Erisza Maudyna
Aku
baru saja membuka mata ketika sinar matahari menerobos masuk melalui celah
jendela kamarku. Aku berbaring cukup lama menatap dinding kamarku. Aku tidak
mau keluar kamar. Disana pasti ada robot mengerikan yang menungguku bangun.
Kemudian, dia pasti akan mendorongku ke ruang makan tidak peduli apakah aku mau
atau tidak.
Aku
menutup wajahku dengan bantal. Argh!
Mengapa dunia ini jadi begitu menyeramkan?
Aku
takut hidup di rumahku sendiri. Aku takut dengan semuanya. Robot itu,
wajah-wajah keluargaku yang ada di ruang makan, acara televisi yang memuakkan.
Aku benci semuanya!
“Yuaaaaaaa!” teriakan bunda membuatku melepas bantal
yang kututupkan di wajahku. Aku menghela nafas berat. Pagi ini hari Minggu,
robot itu pasti tidak tidur semalaman. Dan aku, sama sekali tidak peduli.
Memangnya dia siapa? Dia hanya robot. Hanya robot.
“Iya
buuuuuuuuun!” balasku berteriak. Pintu kamarku terbuka, dan wajah itu ada
disana. Wajah hasil operasi plastik seperti gadis korea. Ah, mengapa seperti
itu? Aku benci melihat wajah tidak natural itu. Aku benci hidung yang
dipaksakan mancung, benci bibir yang dipaksakan menawan, atau kedua mata bulat
dan bulu mata super lentik itu. Aku benci semuanya.
“Bangunlah!
Kita sudah siap sarapan di bawah!” bunda berdiri di depan pintu kamar yang
terbuka sebagian. Aku bangkit menatap wajah bunda yang sudah menungguku
berkata-kata. Ah, lihat wajah itu? Itu tidak nampak baik. Wajah itu...
mengerikan. Kemudian, ada wajah robot yang mengintipku dari balik pintu. Aku
memutar bola mataku. Dia menatapku sambil tersenyum.
“Selamat
pagi, Yua!” aku benci nada bicaranya. Aku benci lambaian tangannya yang
bergerak simetris atau senyumnya yang tidak manis. Semua eskpresi wajah robot
itu terlalu memuakkan di mataku. Kehidupan macam apa yang kujalani ini!
“Zeta
bahkan menyapamu!” bunda tersenyum dan mengusap-usap kepala robot itu dengan
senyuman. Aku memutar bola mataku lagi.
“Lima
menit lagi, bun,” kataku sambil turun dari tempat tidur. “Aku cuci muka dulu,”
ujarku singkat sambil melenggang ke kamar mandi yang ada di dalam kamar.
“Bunda
tunggu di bawah ya!” bunda berteriak sekali lagi, kemudian terdengar pintu
kamar ditutup. Aku menatap pantulan wajahku di depan cermin kamar mandi. Apa
yang salah di dalam kehidupan ini? Aku mengusap mukaku dengan air keran.
Aku
bahkan tidak perlu menggerakkan tanganku untuk menggosok gigi. Disana, sikat
gigi itu bergerak otomatis ketika kutekan tombol on. Aku hanya perlu mengarahkan sikat gigi itu ke dalam mulutku,
dan dia akan bergerak-gerak otomatis membersihkan gigiku. Bahkan untuk segala
hal yang sederhana, manusia di zaman ini tidak perlu bersusah payah
menghabiskan tenaganya. Teknologi 2099 sudah tidak perlu ditanyakan lagi. Rumahku
sendiri bukan seperti rumah pada umumnya.
Ayah
memutuskan untuk membeli peralatan elektronik untuk memudahkan aktivitas
keluarga. Tapi bagiku, itu semua seperti neraka. Aku benci semua yang serba ada
bahkan ketika aku belum mengambilnya.
Seperti
saat ini, aku benci ketika sikat gigi itu berputar-putar di dalam mulutku.
Kemudian dalam gerakan cepat, ia berhenti. Ya, sikat gigi itu berhenti otomatis
ketika gigiku sudah bersih. Aku tidak perlu memuntahkan odol, sikat gigi itu
sudah otomatis menghisapnya. Aku hanya perlu mencuci mulutku sedikit setelah
selesai menggosok gigi.
“Kenapa waktu di dunia ini berjalan begitu lama?” aku menggerutu seorang diri sambil mengusap wajahku dengan handuk kecil. Kupandang sekali lagi wajahku yang memantul di cermin. Wajahku masih sama. Wajahku tidak berubah menyeramkan seperti bunda dan adik perempuanku yang memutuskan untuk melakukan operasi plastik yang tak kalah dengan Korea. Dokter di Indonesia sudah kompeten dalam melakukan operasi plastik, dan itu adalah layanan jasa paling diminati saat ini.
“Kenapa waktu di dunia ini berjalan begitu lama?” aku menggerutu seorang diri sambil mengusap wajahku dengan handuk kecil. Kupandang sekali lagi wajahku yang memantul di cermin. Wajahku masih sama. Wajahku tidak berubah menyeramkan seperti bunda dan adik perempuanku yang memutuskan untuk melakukan operasi plastik yang tak kalah dengan Korea. Dokter di Indonesia sudah kompeten dalam melakukan operasi plastik, dan itu adalah layanan jasa paling diminati saat ini.
Ketika
Korea sudah bosan dengan rutinitas operasi plastik yang menghabiskan banyak
dana, Indonesia baru memulainya. Layanan jasa yang tidak mahal itu membuat
banyak wanita di Indonesia yang dengan sukarela melakukan operasi untuk
wajahnya. Korea masih jadi idola, jadi mereka memutuskan untuk membentuk wajah
mereka seperti idola-idola mereka. Entah untuk berapa tahun ke depan, Indonesia
berada di puncak tertinggi kemajuan teknologinya, sejajar dengan negara-negara
maju yang ada di dunia.
Aku
termenung. Ada apa dengan duniaku sekarang? Apa yang menyebabkannya berubah
sedemikian mengerikan?
“Aku
berharap aku punya kemampuan teleportasi untuk hilang dari kehidupan ini,”
doaku dalam hati. Aku sudah muak dengan segala kecanggihan negara ini. Aku...
sudah muak melihat manusia-manusia di negara ini bertingkah seperti robot,
dikendalikan oleh mesin-mesin elektronik.
Namun
aku tidak punya kuasa untuk menolaknya. Bahkan jika aku menolak mesin-mesin itu
menjalankan aktivitasnya untuk memudahkanku, ayah tetap memaksaku. Bahkan
otak-otak manusia telah dikendalikan oleh mesin.
Sungguh,
aku muak dengan dunia ini!
Zeta
berdiri tak jauh dari pintu kamarku. Robot perempuan seusiaku itu tersenyum
begitu aku keluar kamar dan menutup pintunya. Ia menundukkan kepalanya
memberikan salam. Aku memandang robot itu. Lihatlah, bahkan aku masih punya
teman di dunia nyata, tapi robot ini bertingkah seolah-olah dia diterima dalam
kehidupanku. Dia berkata-kata, berperilaku, dan berpikir seperti layaknya temanku.
Dia memuakkan, sungguh. Kadang aku berharap aku bisa melenyapkannya yang setiap
hari berjaga di kamarku.
Memangnya
aku ini apa perlu dijaga? Aku bisa mengurus hidupku sendiri!
“Selamat
pagi, Yua!” robot itu tersenyum.
“Pagi,”
balasku kemudian menuruni tangga untuk menuju ke ruang makan. Zeta meraih
tanganku sebelum aku sempat menapak di anak tangga pertama.
“Aku
akan mengantarmu,”
“Tidak! Tidak perlu, aku bisa berjalan sendiri,” tolakku sambil melepas tanganku dari genggaman tangannya. Lihat, bahkan robot seperti Zeta ada tiga di rumahku! Ketika aku tiba di lantai pertama, dua robot yang lain sudah sibuk menyiapkan sarapan pagi. Bunda, ayah, dan adik perempuanku hanya duduk di kursi dengan nyaman. Mereka sibuk dengan ponsel masing-masing. Fitur-fitur canggih terlalu sayang untuk dilewatkan barang sedetik. Lagi-lagi aku muak. Apa yang terjadi pada keluargaku?
Aku menarik kursi, kemudian menghempaskan tubuhku di atasnya. Bunda dan adik perempuanku mengalihkan pandangan dari layar ponsel. Bunda tersenyum menatapku.
“Oh, kamu sudah datang,” kemudian salah satu robot bernama Geatta meletakkan piring di depanku. Aku memandangnya. Robot berwajah paruh baya itu tersenyum memandangku.
“Terima kasih,” ucapku singkat. Robot itu mengangguk kemudian berlalu. Sungguh, aku masih bisa mengambil piringku sendiri.
“Tidak! Tidak perlu, aku bisa berjalan sendiri,” tolakku sambil melepas tanganku dari genggaman tangannya. Lihat, bahkan robot seperti Zeta ada tiga di rumahku! Ketika aku tiba di lantai pertama, dua robot yang lain sudah sibuk menyiapkan sarapan pagi. Bunda, ayah, dan adik perempuanku hanya duduk di kursi dengan nyaman. Mereka sibuk dengan ponsel masing-masing. Fitur-fitur canggih terlalu sayang untuk dilewatkan barang sedetik. Lagi-lagi aku muak. Apa yang terjadi pada keluargaku?
Aku menarik kursi, kemudian menghempaskan tubuhku di atasnya. Bunda dan adik perempuanku mengalihkan pandangan dari layar ponsel. Bunda tersenyum menatapku.
“Oh, kamu sudah datang,” kemudian salah satu robot bernama Geatta meletakkan piring di depanku. Aku memandangnya. Robot berwajah paruh baya itu tersenyum memandangku.
“Terima kasih,” ucapku singkat. Robot itu mengangguk kemudian berlalu. Sungguh, aku masih bisa mengambil piringku sendiri.
“Hari
ini Frans memasak omelette untuk
kita. Cobalah!” kata bunda.
Aku
mengambil seporsi omelette dari
piring lainnya. Setelah memotongnya, kumasukkan omelette itu dalam mulutku.
“Bagaimana?
Enak?” tanya bunda dengan mata berbinar-binar. “Omelette ini adalah omelette
terenak yang pernah bunda makan,” mendengar itu, membuatku ingin memuntahkan omelette yang sudah masuk dalam
tenggorokanku. Aku sempat melirik Frans yang tersenyum puas di dapur. Aku
memutar bola mataku. Robot itu tahu kalau dirinya sedang dipuji. Bunda terlihat
memasukkan beberapa potongan omelette di mulutnya, pun adik perempuanku yang
terlihat menyukai masakan Frans, robot koki yang ada di rumahku.
“Bisakah
kita masak sendiri lain kali, bun?” keluhku. Aku bosan merasakan masakan dari
robot. Rasanya memang enak, tetapi aku tetap saja tidak begitu menyukainya.
Terlepas dari apapun, tangan manusia lebih baik dalam meracik makanan.
“Mengapa? Masakan yang dibuat Frans juga enak, Yua,” bunda mengernyitkan dahi menjawab pertanyaanku.
“Tetap saja. Kita tidak pernah tahu bahan apa yang dimasukkan Frans ke dalam racikannya,” aku berprasangka buruk. Jangan-jangan dia memasukkan bahan radioaktif atau bahkan racun yang mematikan. Lagi-lagi, aku tidak mempercayai kecanggihan teknologi saat ini. Aku benci tepatnya. Perlu kujelaskan di setiap paragraf bahwa aku benci pada kecanggihan teknologi di abad ini?
Ya, aku benci sepenuh-penuhnya benci. Aku muak!
“Hahaha,” ayah tertawa. “Ada-ada saja kamu, Yua. Mana mungkin Frans meracuni kita. Dia sudah hidup lima tahun bersama kita,” kata ayah. Ia baru saja mengalihkan kedua matanya dari layar ponsel. Aku heran, apa yang mereka lihat disana. Aplikasi macam apa yang sudah menyita seluruh perhatian mereka. Aku muak sepenuh-penuhnya muak. Aku benci keluargaku dikendalikan oleh teknologi itu. Rasanya aku ingin membanting semua alat elektronik yang ada di rumah ini, dan mengembalikan suasana rumah seperti sediakala. Hangat penuh cinta. Sekarang? Ini bukan rumah. Dingin penuh kesenangan yang semu. Ini bukan rumah. Lebih seperti pabrik yang menjalankan robot-robot dengan perintah, kemudian tinggal duduk dan menikmati hasilnya.
“Mengapa? Masakan yang dibuat Frans juga enak, Yua,” bunda mengernyitkan dahi menjawab pertanyaanku.
“Tetap saja. Kita tidak pernah tahu bahan apa yang dimasukkan Frans ke dalam racikannya,” aku berprasangka buruk. Jangan-jangan dia memasukkan bahan radioaktif atau bahkan racun yang mematikan. Lagi-lagi, aku tidak mempercayai kecanggihan teknologi saat ini. Aku benci tepatnya. Perlu kujelaskan di setiap paragraf bahwa aku benci pada kecanggihan teknologi di abad ini?
Ya, aku benci sepenuh-penuhnya benci. Aku muak!
“Hahaha,” ayah tertawa. “Ada-ada saja kamu, Yua. Mana mungkin Frans meracuni kita. Dia sudah hidup lima tahun bersama kita,” kata ayah. Ia baru saja mengalihkan kedua matanya dari layar ponsel. Aku heran, apa yang mereka lihat disana. Aplikasi macam apa yang sudah menyita seluruh perhatian mereka. Aku muak sepenuh-penuhnya muak. Aku benci keluargaku dikendalikan oleh teknologi itu. Rasanya aku ingin membanting semua alat elektronik yang ada di rumah ini, dan mengembalikan suasana rumah seperti sediakala. Hangat penuh cinta. Sekarang? Ini bukan rumah. Dingin penuh kesenangan yang semu. Ini bukan rumah. Lebih seperti pabrik yang menjalankan robot-robot dengan perintah, kemudian tinggal duduk dan menikmati hasilnya.
“Kalian
kenapa?” tanyaku marah.
“Kak,”
adik perempuanku menyentuh tanganku, mencoba menghentikan amarahku.
“Apa
yang salah, Yua?” tanya bunda.
“Kita
hidup dengan sistem macam apa? Sampai kapan kalian akan menggantungkan semua
hal pada robot-robot itu? Dan itu, robot itu!” aku menunjuk pada Zeta yang
duduk tak jauh dari kursiku. “Mengapa aku harus melihatnya setiap hari di depan
kamarku? Mengapa dia harus ada di depan kamarku untuk menjagaku? Memangnya aku
ini apa, bun? Bayi? Apakah aku terlihat butuh penjagaan dari robot yang bahkan
bukan temanku?”
Kata-kataku
membungkam semua mulut yang ada di meja makan. Tak terkecuali Zeta, dia
terlihat sedih memandangku.
“Aku hanya ingin kehidupan yang normal. Aku ingin kehidupan kita kembali lagi seperti sediakala? Dan apa itu, the new world Indonesia 2099? Aku benci itu. Aku benci kenapa pemerintah mengajarkan kita bergantung pada benda-benda semacam ini! Aku benci mengapa Indonesia harus menerapkan sistem memuakkan ini?”
“Aku hanya ingin kehidupan yang normal. Aku ingin kehidupan kita kembali lagi seperti sediakala? Dan apa itu, the new world Indonesia 2099? Aku benci itu. Aku benci kenapa pemerintah mengajarkan kita bergantung pada benda-benda semacam ini! Aku benci mengapa Indonesia harus menerapkan sistem memuakkan ini?”
“Dan
apa itu, setiap hari kalian hanya sibuk dengan gadget masing-masing. Bunda dan adik, yang seharian menghabiskan
waktu belanja di mall dan
bersenang-senang dengan wajah baru kalian. Ayolah, kita bukan robot juga. Kita
perlu waktu untuk bersama-sama. Kita butuh berkomunikasi, saling menatap wajah,
kemudian berbagi cerita seperti apa yang kita lakukan dulu,”
Ayah
memandangku, pun bunda dan adik perempuanku.
“Mau sampai kapan kita hidup seperti ini, yah, bun, dik?” tanyaku pada mereka. Mulut-mulut itu bungkam tak menjawab. Kuletakkan garpu dan sendokku, kemudian aku bangkit dari kursi.
“Mau sampai kapan kita hidup seperti ini, yah, bun, dik?” tanyaku pada mereka. Mulut-mulut itu bungkam tak menjawab. Kuletakkan garpu dan sendokku, kemudian aku bangkit dari kursi.
“Aku
pergi dulu,” ujarku kemudian melenggang berlalu. Ketiga orang itu tidak
menahanku. Mereka hanya bungkam sebungkam-bungkamnya.
Belum ada lima langkah aku meninggalkan rumah, kulihat sebuah lingkaran berwarna hijau menganga di depanku. Lingkaran itu terlihat seperti sebuah lubang. Aku melangkah ke depan, memandang lubang itu lamat-lamat. Ada cahaya yang tidak terang muncul dari dalam lubang itu. Aku mengernyitkan dahiku. Lubang apa ini? Apakah ini semacam teleportasi?
Aku menyentuh lingkaran hijau itu. Namun seperti ada magnet yang menarik tanganku. Aku terseret masuk ke dalam lubang itu dalam kecepatan enol koma sepersekian detik
“Argh! Ayaaaaaaaah!” teriakku dari dalam lubang. Dua detik kemudian, lubang itu menghilang.
Belum ada lima langkah aku meninggalkan rumah, kulihat sebuah lingkaran berwarna hijau menganga di depanku. Lingkaran itu terlihat seperti sebuah lubang. Aku melangkah ke depan, memandang lubang itu lamat-lamat. Ada cahaya yang tidak terang muncul dari dalam lubang itu. Aku mengernyitkan dahiku. Lubang apa ini? Apakah ini semacam teleportasi?
Aku menyentuh lingkaran hijau itu. Namun seperti ada magnet yang menarik tanganku. Aku terseret masuk ke dalam lubang itu dalam kecepatan enol koma sepersekian detik
“Argh! Ayaaaaaaaah!” teriakku dari dalam lubang. Dua detik kemudian, lubang itu menghilang.
Aku
terlempar ke atas ranjang. Nafasku tersengal, nadiku berdenyut cepat, dan
jantungku berdetak tak karuan. Aku memandang ruangan yang terlihat familiar.
Cat dinding berwarna biru laut, penataan kamar yang sangat kuhafal, meja
belajar di depan jendela dan lemari yang menghadap ranjang. Semuanya terlihat
sama dengan kamarku.
“Aku... di rumah?” dahiku mengernyit lagi. Lalu, untuk apa teleportasi itu membawaku kesini? Toh, tanpa membawaku kesini, aku akan kemari lagi pada akhirnya.
“Yuaaaaaaaaaaaaaa!” terdengar bunda berteriak. Aku menolehkan kepala ke arah pintu kamar. Kejadian ini...
“Aku... di rumah?” dahiku mengernyit lagi. Lalu, untuk apa teleportasi itu membawaku kesini? Toh, tanpa membawaku kesini, aku akan kemari lagi pada akhirnya.
“Yuaaaaaaaaaaaaaa!” terdengar bunda berteriak. Aku menolehkan kepala ke arah pintu kamar. Kejadian ini...
“Bangunlah! Kita
sudah siap sarapan di bawah!” bunda berdiri di depan pintu kamar yang terbuka
sebagian. Bunda tersenyum menatapku. Aku hanya bisa menatap bunda dengan
tatapan penuh tanya. Ada apa ini?
Kemudian aku yakin,
Zeta akan muncul dari balik pintu dan menyapaku. Kutunggu beberapa saat, tetapi
Zeta tidak lagi muncul. Bukankah aku sudah mengalami kejadian ini? Seharusnya
Zeta ada. Tetapi sekali lagi, robot itu tidak muncul.
“Bun, mana Zeta?” tanyaku.
“Bun, mana Zeta?” tanyaku.
“Zeta? Zeta siapa?”
tanya bunda.
Aku kaget mendengar
jawaban bunda. Seharusnya bunda lebih tahu siapa Zeta, robot yang selalu ada 24
jam nonstop di depan pintu kamarku.
“Z... zeta, bunda
tidak mengenalnya?” tanyaku terbata. Bunda menggeleng. Tunggu! Aku tidak
melihat hidung mancung, mata bulat, bibir menawan yang seharusnya aku lihat
hari ini. Wajah bunda... berubah?
“Kamu ini kenapa,
Yua? Ayo turun dan makan. Ayah sudah menunggu daritadi,” bunda tersenyum
kemudian menutup pintu kamar.
Aku memutar bola
mataku, kemudian menghela nafas berat. Sebenarnya aku hidup di abad keberapa?
Bukankah seharusnya aku ada di rumah di tahun 2099? Mataku tertumbuk pada
kalender yang berada tidak jauh dari ranjangku. Agustus, 2016.
Aku mengernyitkan
dahi. Ini tahun 2016?
Kediri,
23 Agustus 2016
6.42 AM
0 komentar:
Posting Komentar